Minggu, 12 Februari 2012

hukum adat


BAB I
PENDAHULUAN


A.  Pengertian
Adat merupakan suatu peraturan, kebiasaan-kebiasaan yang tumbuh dan terbentuk dari suatu masyarakat atau daerah yang dianggap memiliki nilai dan dijunjung serta dipatuhi masyarakat atau daerah yang dianggap memiliki nilai dan dijunjung serta dipatuhi masyarakat pendukungnya. Di Indonesia aturan-aturan tentang segi kehidupan manusia tersebut menjadi aturan-aturan hukum yang mengikat yang disebut hukum adat. Adat telah melembaga dalam kehidupan masyarakat, baik berupa tradisi, adat upacara dan lain-lain yang mampu mengendalikan perilaku warga masyarakat dengan perasaan senang atau bangga, dan peranan tokoh adat yang menjadi tokoh masyarakat menjadi cukup penting.
Adat merupakan norma yang tidak tertulis namun sangat kuat mengikat sehingga anggota-anggota masyarakat yang melanggar adat-istiadat akan menderita, karena sanksi keras yang kadang-kadang sacara tidak langsung dikenakan. Misalnya pada masyarakat yang melarang terjadinya perceraian, maka tidak hanya yang bersangkuatan yang mendapatkan sanksi atau menjadi tercemar, tetapi seluruh keluarga atau bahkan masyarakatnya.


B.  Tujuan
Memberikan pemahaman kepada para peserta untuk dapat memahami secara lebih mendalam pengertian tentang adat ditinjau dari ilmu pendidikan akidah serta hal-hal bersangkut paut dengannya.


BAB II
PEMBAHASAN

A.  Lembaga Adat dan Peranannya

Adat bagi suatu bangsa merupakan ruh yang menggerakkan bangsa atau suku tersebut untuk menjaga eksitensi dan jati dirinya. Adat bukan saja bagian dari benda-benda peninggalan sejarah dan tata cara prilaku hidup masyarakat setempat, tapi juga merupakan bagian dari pranata sosial yang berfungsi sebagai suatu lembaga yang mampu menyelesaikan bermacam persoalan yang muncul dalam masyarakat. Dalam khazanah kebudayaan Aceh, adat sebagai institusi, walaupun wujudnya sekarang belum mengambil bentuknya seperti lembaga-lembaga/ institusi-institusi pemerintahan, tetap telah memainkan peran pentingnya dalam mengatur pola hidup bangsa ini.

1.    Pengertian Lembaga Adat
Istilah lembaga adat merupakan dua rangkaian kata yang terdiri dari kata “lembaga” dan “adat”. Kata lembaga dalam bahasa Inggris disebut Institution yang bermakna pendirian, lembaga, adat dan kebiasaan. Dari pengertian literal ini, lembaga dapat diartikan sebagai sebuah istilah yang menunjukkan kepada pola prilaku manusia yang mapan terdiri dari interaksi sosial yang memiliki struktur dalam suatu kerangka nilai yang relevan. Struktur adalah tumpukan logis lapisan-lapisan yang ada pada sistem hukum yang bersangkutan.[1]
Menurut ilmu-ilmu budaya, lembaga adalah suatu bentuk organisasi yang tersusun relatif tetap atas pola-pola kelakuan, peranan-peranan, dan relasi-relasi yang terarah dan mengikat individu, mempunyai otoritas formal dan sanksi hukum guna tercapainya kebutuhan-kebutuhan sosial dasar.[2]

2.    Lembaga Adat Dalam Lintasan Sejarah
Kita misalkan saja pada satu contoh dimana mengkaji tentang Asal Usul Masyarakat Aceh diaman adat istiadat suatu komunitas dapat diketahui secara lebih detil dengan terlebih dahulu dikaji asal usul masyarakat tersebut, apakah masyarakat tersebut suatu kelompok yang homogen dan telah sangat lama menetap di pemukiman tersebut atau heterogen yang merupakan kumpulan pendatang lalu mendiami suatu daerah.
Untuk masyarakat Aceh dimana dalam peta wilayah ini didapati beberapa kelompok masyarakat yang memiliki khazanah budaya dan adat istiadat yang beragam dan kadang cenderung berbeda atau ada pula yang agak mirip. Dalam masyarakat Aceh yang barangkali orang menganggap sebagai satu kesatuan suku namun hakikatnya memiliki komunitas yang majemuk, ditemukan keragaman adat-istiadat dan tradisi yang diwarisi, sebagiannya ada yang memiliki kesamaan dan kemiripan, namun tidak sedikit pula yang berbeda.

B.  Hukum adat
Hukum adat adalah sistem hukum yang dikenal dalam lingkungan kehidupan sosial di Indonesia dan negara-negara Asia lainnya seperti Jepang, India, dan Tiongkok. Sumbernya adalah peraturan-peraturan hukum tidak tertulis yang tumbuh dan berkembang dan dipertahankan dengan kesadaran hukum masyarakatnya. Karena peraturan-peraturan ini tidak tertulis dan tumbuh kembang, maka hukum adat memiliki kemampuan menyesuaikan diri dan elastis.
Istilah Hukum Adat pertama kali diperkenalkan secara ilmiah oleh Prof. Dr. C Snouck Hurgronje, Kemudian pada tahun 1893, Prof. Dr. C. Snouck Hurgronje dalam bukunya yang berjudul "De Atjehers" menyebutkan istilah hukum adat sebagai "adat recht" (bahasa Belanda) yaitu untuk memberi nama pada satu sistem pengendalian sosial (social control) yang hidup dalam Masyarakat Indonesia. Istilah ini kemudian dikembangkan secara ilmiah oleh Cornelis van Vollenhoven yang dikenal sebagai pakar Hukum Adat di Hindia Belanda (sebelum menjadi Indonesia).
Pendapat lain terkait bentuk dari hukum adat, selain hukum tidak tertulis, ada juga hukum tertulis. Hukum tertulis ini secara lebih detil terdiri dari hukum ada yang tercatat (beschreven), seperti yang dituliskan oleh para penulis sarjana hukum yang cukup terkenal di Indonesia, dan hukum adat yang didokumentasikan (gedocumenteerch) seperti dokumentasi awig-awig di Bali.

1.    Hukum adat di Indonesia
Dari 19 daerah lingkungan hukum di Indonesia, sistem hukum adat dibagi dalam tiga kelompok, yaitu:
-       Hukum Adat mengenai tata negara
-       Hukum Adat mengenai warga (hukum pertalian sanak, hukum tanah, hukum perhutangan).
-       Hukum Adat mengenai delik (hukum pidana).

2.    Wilayah Hukum Adat di Indonesia
Menurut hukum adat, wilayah yang dikenal sebagai Indonesia sekarang ini dapat dibagi menjadi beberapa lingkungan atau lingkaran adat (Adatrechtkringen). Seorang pakar Belanda, Cornelis van Vollenhoven adalah yang pertama mencanangkan gagasan seperti ini. Menurutnya daerah di Nusantara menurut hukum adat bisa dibagi menjadi 23 lingkungan adat berikut:
1.        Aceh
2.        Gayo dan Batak
3.        Nias dan sekitarnya
4.        Minangkabau
5.        Mentawai
6.        Sumatra Selatan
7.        Enggano
8.        Melayu
9.        Bangka dan Belitung
10.    Kalimantan (Dayak)
11.    Sangihe-Talaud
12.    Gorontalo
13.    Toraja
15.    Maluku Utara
16.    Maluku Ambon
17.    Maluku Tenggara
18.    Papua
19.    Nusa Tenggara dan Timor
20.    Bali dan Lombok
21.    Jawa dan Madura (Jawa Pesisiran)
22.    Jawa Mataraman
23.    Jawa Barat (Sunda)

3.    Penegak hukum adat
Penegak hukum adat adalah pemuka adat sebagai pemimpin yang sangat disegani dan besar pengaruhnya dalam lingkungan masyarakat adat untuk menjaga keutuhan hidup sejahtera.

4.    Aneka Hukum Adat
Hukum Adat berbeda di tiap daerah karena pengaruh :
-       Agama : Hindu, Budha, Islam, Kristen dan sebagainya. Misalnya : di Pulau Jawa dan Bali dipengaruhi agama Hindu, Di Aceh dipengaruhi Agama Islam, Di Ambon dan Maluku dipengaruhi agama Kristen.
-       Kerajaan seperti antara lain: Sriwijaya, Airlangga, Majapahit.
-       Masuknya bangsa-bangsa lain, misal : Arab, China, Eropa.

5.      Hukum Formal Harus Mencerminkan Hukum Adat
Mengenai persoalan penegak hukum adat Indonesia, ini memang sangat prinsipil karena adat merupakan salah satu cermin bagi bangsa, adat merupkan identitas bagi bangsa, dan identitas bagi tiap daerah. Dalam kasus salah satu adat suku Nuaulu yang terletak di daerah Maluku Tengah, ini butuh kajian adat yang sangat mendetail lagi, persoalan kemudian adalah pada saat ritual adat suku tersebut, dimana proses adat itu membutuhkan kepala manusia sebagai alat atau prangkat proses ritual adat suku Nuaulu tersebut.Tetapi itu terjadi dahulu kala. Hukum Adat bersifat dinamis, selalu bergerak ke arah pembaharuan. Karena hukum itu ada bersama masyarakatnya. Ketika masyarakat berubah maka hukum akan berubah juga.
Dalam kerangka pelaksanaan Hukum Tanah Nasional dan dikarenakan tuntutan masyarakat adat maka pada tanggal 24 Juni 1999, telah diterbitkan Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No.5 Tahun 1999 tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat.
Peraturan ini dimaksudkan untuk menyediakan pedoman dalam pengaturan dan pengambilan kebijaksanaan operasional bidang pertanahan serta langkah-langkah penyelesaian masalah yang menyangkut tanah ulayat.
Peraturan ini memuat kebijaksanaan yang memperjelas prinsip pengakuan terhadap "hak ulayat dan hak-hak yang serupa itu dari masyarakat hukum adat" sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 3 UUPA. Kebijaksanaan tersebut meliputi :
-       Penyamaan persepsi mengenai "hak ulayat" (Pasal 1).
-       Kriteria dan penentuan masih adanya hak ulayat dan hak-hak yang serupa dari masyarakat hukum adat (Pasal 2 dan 5).
-       Kewenangan masyarakat hukum adat terhadap tanah ulayatnya (Pasal 3 dan 4).

Indonesia merupakan negara yang menganut pluralitas di bidang hukum, dimana diakui keberadaan hukum barat, hukum agama dan hukum adat. Dalam prakteknya (deskritif) sebagian masyarakat masih menggunakan hukum adat untuk mengelola ketertiban di lingkungannya.
Di tinjau secara preskripsi (dimana hukum adat dijadikan landasan dalam menetapkan keputusan atau peraturan perundangan), secara resmi, diakui keberadaaanya namun dibatasi dalam peranannya. Beberapa contoh terkait adalah UU dibidang agraria No.5 / 1960 yang mengakui keberadaan hukum adat dalam kepemilikan tanah.




BAB III
PENUTUP


A.  Kesimpulan
Adat merupakan suatu peraturan, kebiasaan-kebiasaan yang tumbuh dan terbentuk dari suatu masyarakat atau daerah yang dianggap memiliki nilai dan dijunjung serta dipatuhi masyarakat atau daerah yang dianggap memiliki nilai dan dijunjung serta dipatuhi masyarakat pendukungnya.
Adat merupakan norma yang tidak tertulis namun sangat kuat mengikat sehingga anggota-anggota masyarakat yang melanggar adat-istiadat akan menderita, karena sanksi keras yang kadang-kadang sacara tidak langsung dikenakan
Istilah lembaga adat merupakan dua rangkaian kata yang terdiri dari kata “lembaga” dan “adat”. Kata lembaga dalam bahasa Inggris disebut Institution yang bermakna pendirian, lembaga, adat dan kebiasaan



B.  Saran
.............................................................................................
.............................................................................................
.............................................................................................
.............................................................................................
.............................................................................................
.............................................................................................
.............................................................................................
.............................................................................................
.............................................................................................
.............................................................................................


[1] Mohammad Daud Ali, HukumIslam (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2004), hal. 216
[2] Hendropuspita, Sosiologi Agama, (Yogyakarta : Kanisius, 1994), hal.114

metode Ta'lili


BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang Masalah
Konstruksi dasar pembinaan hukum Islam telah diletakkan oleh Rasulullah SAW yang bentuk-bentuk cakupan hukum yang diformulasikannya dapat berupa; pertama, penjelasan yang berkaitan dengan arti dan maksud al-Qur’an yang kemudian dijelaskan oleh Nabi dalam contoh dan perbuatan. Kedua, penjelasan yang berkaitan dengan perluasan dasar-dasar yang dinyatakan oleh al-Qur’an yang kelihatannya menambah hukum yang dinyatakan al-Qur’an itu sendiri, dan ketiga, penjelasan yang berkaitan dengan pembatasan/pengurangan kandungan al-Qur’an.
Dari konstruksi Nabi tersebut, kemudian para teoritisi hukum Islam mulai menyusun konstruksi metodologi untuk menafsirkan ayat-ayat dan hadis dalam usaha untuk mendekatkan pemahaman kepada maksud dan tujuan syari’at serta berusaha untuk mendekatkan hasil penalaran/pemahaman tersebut dengan realitas sosial yang  berkembang ditengah-tengah masyarakat.
 Para mujtahid tidak membuat, tetapi hanya menemukan hukum. Hal itu adalah karena keyakinan dalam Islam bahwa hukum dibuat oleh Tuhan sebagai asy-Syari’ (pembuat hukum). Manusia hanyalah memahami (fiqh) hukum Ilahi tersebut. Proses pemahaman terhadap hukum itu disebut istinbaht al-hukm melalui kegiatan intelektual yang disebut ijtihad. Hasil-hasil hukum yang diistinbat melalui kegiatan ijtihad itu dinamakan fiqih.
            Penemuan hukum dimaksudkan sebagai suatu proses individualisasi dan konkretisasi peraturan-peraturan umum dengan mengaitkannya kepada peristiwa/kasus khusus. Penemuan hukum berbeda dengan penelitian hokum yang lebih luas sifatnya. Penemuan hukum bersifat klinis yang bertujuan untuk menjawab pertanyaan  apa hukum suatu kasus konkret tertentu. Penelitian hukum menyelidiki hukum sebagai sebuah fenomena sosial dengan mempelajari hubungannya dengan fenomena sosial lainnya. Juga melakukan penyelidikan normatif terhadap hukum untuk melakukan inventarisasi peraturan hukum, menemukan asas/doktrin hukum, meneliti taraf sinkronisasi dan sistematik hukum serta menemukan hukum untuk menyelesaikan suatu perkara. Dengan demikian sesungguhnya penemuan hukum hanyalah sebagian dari penelitian hukum.[1]
Tujuan penemuan hukum haruslah dipahami oleh mujtahid dalam rangka mengembangkan pemikiran hukum dalam Islam secara umum dan menjawab persoalan-persoalan hukum kontemporer yang kasusnya tidak diatur secara eksplisit oleh Al Quran dan Hadis. Oleh karenanya dengan berbagai macam metode yang diterapkan diharapakan akan dapat menemukan hukum-hukum dalam memecahkan berbagai persoalan yang muncul, makalah ini akan mencoba menguraikan metode penemuan hukum ta’lili.  

Permasalahan
Dari uraian yang telah saya kemukakan di atas, untuk mendapatkan suatu gambaran dan batasan, maka yang menjadi permasalahan dalam penulisan makalah ini adalah : Bagaimana terjadinya ijtihad ta’lili (penalaran ta’lili) dalam meng’illah suatu hukum.




BAB II
PEMBAHASAN
PENALARAN METODE TA’LILI
A.     Pengertiaan dan Pembagian Istinbath
Menurut bahasa, kata istinbath merupakan akar kata dari kata nabatha-yanbuthu-nabthan yang berarti air yang pertama kali keluar/tampak pada seseorang yang menggali sumur. Dikatakan istanbatha al-faqih berarti mengeluarkan hukum (fiqh) yang tersembunyi dengan pemahaman dan ijtihadnya.
            Al-Jurjani memberikan arti istinbath menurut bahasa dengan mengeluarkan air dari mata air (dalam tanah).[2] Karena itu secara umum kata istinbath digunakan dalam arti al-istikhraj (mengeluarkan).  Sedangkan menurut istilah, kata istinbath diberikan pengertian oleh para ulama dengan beberapa penekanan yang hampir sama. Misalnya al-Jurjani memberikan definisi istinbath dengan :

إستخراج المعاني من النصوص بفرط الذهن وقوة القريحة

“mengeluarkan kandungan hukum dari nas-nas (al-Qur’an dan sunnah) dengan ketajaman nalar serta kemampuan yang optimal.           
 Kata istinbath terdapat dalam al-Qur’an dalam bentuk fi’l al-mudhari’ yaitu yastanbithunah yang terdapat dalam Surat An-Nisa’ ayat 83.
Muhammad Mushtafa al-Maraghi mengartikan kata istinbath dengan mengeluarkan sesuatu yang tersembunyi dari pandangan mata. Ketika menafsirkan ayat 83 dari surat an-Nisa’, dia menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan yastanbithunah adalah mengeluarkan sesuatu yang tersembunyi (tidak jelas) dengan ketajaman pemikiran mereka.
            Berdasarkan uraian di atas, dapat ditarik garis bawahi bahwa istilah istinbath menurut para teoretisi hukum Islam agak identik dengan ijtihad. Sebagaimana diketahui bahwa pengertian ijtihad menurut para teoretisi hukum Islam adalah upaya mencurahkan segenap kemampuan faqih dalam mengeluarkan hukum-hukum yang amaliyah dari dalil-dalil yang terperinci.
Secara garis besar ada dua macam perangkat atau metode yang dikembangkan oleh para teoretisi hukum Islam dalam rangka istinbath-nya yang meliputi metode istinbath yang dilakukan dengan cara menggali hukum kepada nas secara langsung dan kedua metode yang dilakukan dengan cara menggali hukum dengan cara mengembalikan kepada nas secara tidak langsung, tetapi hanya melalui kaidah-kaidah umum yang dikenal dengan al-qawaid al-fiqhiyyah.
Untuk jenis metode yang pertama, para teoretisi hukum Islam merumuskan tiga metode penemuan hukum yakni (1) metode interpretasi linguistik (ath-thuruq al-bayaniyah); (2) metode kausasi (istinbath ta’lili); dan (3) metode istinbath istishlahi.[3] Ketiga metode tersebut dikenal juga dengan nama metode istinbath ushuli (pokok). Disebut demikian sebab wujud dari metode tersebut mendahului furu’ atau fiqh yang merupakan produk dari penerapan metode istinbath tersebut.
Sedang metode kedua dapat disebut dengan metode istinbath qawa’id kulliyyah. Metode ini merupakan seperangkat kaidah yang dibangun berdasarkan penelitian secara induktif terhadap berbagai kasus fiqh yang kemudian dijustifikasi dengan nas-nas yang bersifat kulliyah. Fungsi dari kaidah-kaidah tersebut adalah untuk mengembalikan berbagai permasalahan fiqhiyah maupun menyelesaikan kasus-kasus baru yang bersifat cabang.

B.     Pengertian Metode Ta’lili/ Ijtihad Ta’lili
    Metode kausasi (at-ta’lil) merupakan bagian penting dalam penemuan hukum syar’i karena metode ini merupakan upaya penemuan hukum untuk kasus yang tidak ada teks hukumnya. Di sini teks hukum yang ada diperluas cakupannya sehingga bisa mencakup kasus-kasus yang tidak terdapat teks hukumnya (nasnya).
Yang dimaksud dengan ijtihad ta’lili adalah mengambil kesimpulan hukum dari nas dengan pertimbangan ‘illat al-hukm (pangkal sebab/alasan) ditetapkannya suatu hukum. Kemudian diambil sebagai bahan perbandingan (miqyas) bagi peristiwa hukum yang di luar nas yang dimaksud dengan jalan analogi.
Untuk melakukan istinbath hukum secara qiyasi (ta’lili), menurut mayoritas teoretisi hukum Islam diperlukan beberapa rukun yang harus dipenuhi, yaitu :
  1. al-ashl, kasus asal, yang ketentuannya telah ditetapkan dalam nas, dan analogi berusaha memperluas ketentuan itu kepada kasus baru;
  2. al-far’, kasus baru, sasaran penerapan ketentuan asal;
  3. al-‘illat, kausa, yang merupakan sifat dari kasus asal dan ditemukan sama dengan kasus baru;
  4. al-hukm (ketentuan) kasus asal yang diperluas kepada kasus baru.
Untuk melakukan istinbath hukum secara qiyasi, maka ‘illat hukum merupakan hal yang pokok dan perlu diperhatikan. Maka sebagian ulama ushul seperti al-Bazdawi berpendapat bahwa rukun qiyas itu hanya satu yaitu ‘illat saja.
Oleh karena itu, cara ini kemudian dikenal juga dengan metode istinbath isti’lali, yakni metode mengambil kesimpulan hukum yang didasarkan kepada ‘illat hukum. Misalnya tentang larangan membakar/memusnahkan harta anak yatim yang diqiyaskan dengan larangan memakan harta mereka dengan batil.

C.    Pengertian ‘Illat
‘Illat adalah suatu keadaan atau sifat yang jelas, dapat diukur, dan mengandung relevansi sehingga dapat diduga secara kuat bahwa itulah yang menjadi alasan penetapan suatu ketentuan oleh Allah. Contohnya ialah kebolehan mengqashar shalat bagi musafir. Musafir dipandang sebagai ‘illat karena keadaannya jelas, yaitu tidak mukim, dapat diukur perjalanannya dengan jarak atau waktu dan memiliki relevansi antara musafir dengan mengqashar shalat, yaitu kemudahan. Kesukaran tidak bisa dijadikan ‘illat (dalam kasus mengqashar shalat), sebab kesukaran adalah sesuatu yang abstrak, sulit diukur karena tingkat kesukaran seseorang sangat relatif. Bila suatu keadaan tidak diketahui relevansinya dengan suatu ketentuan maka ia tidak dapat dikatakan ‘illat tetapi sebab. Sebagai misal adalah tergelincirnya matahari dengan kewajiban shalat dzuhur. Tergelincirnya matahari dianggap sebagai sebab karena ia tidak dapat diketahui relevansinya. Penggunaan dasar ‘illat sebagai dasar ijtihad diterima oleh hampir semua ulama ushul.[4]
Contoh lain adalah riba, di mana biasanya didefinisikan sebagai “tambahan yang diperjanjikan atas besarnya pinjaman ketika pelunasan hutang”. Jadi tekanannya pada “tambahan” sebagai ciri pokok riba.
Riba dapat juga didefinisikan dengan “tambahan atas besarnya pinjaman ketika pelunasan hutang yang mendatangkan kesengsaraan pihak peminjam”. Di sini tekanannya ada pada “kesengsaraan/zulm”, bukan “tambahan”. “Tambahan” sebagai an-nau’/species,sedangkan “kesengsaraan” sebagai al-jins/genus/’illat.
Dari paparan di atas, dapat diketahui bahwa esensi riba adalah “tambahan” dan ada pula yang mengatakan esensinya adalah “zulm”. Namun jika kembali kepada pangkal persoalan larangan riba, maka “tambahan” tidak mempunyai makna apa-apa. Sebaliknya, “ketidakadilan” adalah hal yang bertentangan dengan tujuan penetapan prinsip ekonomi Islam. Karenanya, ’illat larangan riba seharusnya “zulm” bukan “tambahan”.

D.       Syarat-Syarat ‘Illat
Muhammad Hashim Kamali telah meringkas beberapa syarat ‘illat –meskipun sebagian besar masih kontroversial di antara para teoretisi hukum Islam– ke dalam lima butir berikut ini :
  1. ‘Illat harus merupakan sifat yang tetap (mundhabit) yang dapat diterapkan kepada semua kasus tanpa dipengaruhi oleh perbedaan pelaku, waktu dan tempat serta keadaannya;
  2. ‘Illat yang menjadi dasar dari qiyas haruslah jelas (zahir);
  3. ‘Illat harus merupakan sifat yang patut (al-washf al-munasib) yang mempunyai kaitan yang patut dan wajar dengan nas (hukm);
  4. ‘Illat harus muta’addi, yaitu kualitas obyektif yang dapat diterapkan untuk kasus-kasus yang lain;
  5. ‘Illat tidak boleh merupakan suatu sifat yang berusaha menandingi atau mengubah hukum dari nash.
E.     Pembagiaan ‘Illat
1.      ‘Illat Tasyri’i
Illat tasyri’i adalah ‘illat yang digunakan untuk mengetahui apakah suatu ketentuan masih perlu dipertahankan atau diubah, karena ‘illatnya telah bergeser ataupun karena tujuan yang diinginkannya akan tercapai. Contoh yang paling populer adalah ‘illat tentang zakat hasil pertanian. Para ulama masa lalu memahami ‘illat zakat pertanian adalah makanan pokok, dapat ditakar dan tahan lama. Tetapi ulama sekarang, semisal Yusuf Qardhawi menemukan ‘illat baru, yaitu an-nama’ (produktif). Oleh karena itu seluruh jenis tanaman yang produktif wajib dizakati.

2.‘Illat Qiyasi
‘Illat qiyasi adalah pemberlakuan ‘illat terhadap sesuatu yang tidak disebutkan secara tekstual karena adanya kesamaan dengan sesuatu yang telah disebut secara tekstual. Sebagai misal adalah haramnya minuman keras seperti wiski, tuak, brandi dan lain sebagainya, yang memiliki kesamaan ‘illat dengan khamr (sebagai asal yang ada nas hukumnya). Kesamaan ‘illatnya ialah memabukkan. Wiski dan minuman keras sejenis sebagai cabang yang memiliki sifat memabukkan, oleh karenanya ia menjadi haram.
            Qiyas sebagai salah satu kaidah penalaran dalam ushul fiqih diterima secara luas oleh kalangan fuqaha. Hanya sebagian kecil saja yang menolak qiyas. Mereka adalah kalangan mazhab Zahiri terutama Ibnu Hazm. Bagi Ibnu Hazm penggunaan qiyas adalah sesuatu yang mengada-ada. Allah hanya membebani hamba-Nya sesuai dengan kemampuannya. Jadi apa-apa yang tidak disebutkan dalam nas, merupakan sebuah keringanan bagi seorang mukallaf dan hukumnya mubah. Karena itu tidak perlu membuat ketentuan baru.

3.‘Illat Istihsani
‘Illat istihsani atau disebut juga dengan qiyas khafy adalah ‘illat pengecualian karena adanya ‘illat yang tersembunyi. Sebagai contoh ialah kehalalan sisa daging yang dimakan burung elang. Sebenarnya elang adalah tergolong jenis binatang buas. Daging binatang buas juga haram dimakan. Oleh karena itu sisa daging yang dimakan elang hukumnya juga haram. Qiyas yang demikian oleh ulama kalangan Hanafiyah dianggap kurang memuaskan. Sebab ada perbedaan khusus antara burung elang dengan binatang buas lain seperti harimau, macan, singa dan sebagainya. Burung elang makan dengan paruhnya yang suci. Oleh karena itu sisa makanannya juga suci hukumnya. Sementara itu binatang buas yang lain makan dengan mulutnya, yang di situ terdapat air liur. Oleh karenanya, sisa makanan yang dimakan olehnya diduga bercampur dengan air liur, yang berarti juga najis. Karenanya sisa makanan binatang buas menjadi haram hukumnya. ‘Illat istihsani lebih banyak digunakan oleh kalangan Hanafiah.

F.     Cara Menemukan ‘Illat  
Untuk memperluas cakupan teks hukum yang ada, perlu dilakukan penyelidikan terhadap ketentuan hukum yang telah ada di dalam teks hukum guna mengkaji dan menemukan atribut yang menjadi dasar penetapannya. Dengan kata lain, ‘illat yang melandasi suatu hukum harus diselidiki.
            Para teoretisi hukum Islam telah mengembangkan beberapa  teknik untuk mengidentifikasi atribut yang menjadi ‘illat suatu hukum yakni melalui konteks suatu nas, ijma’ (konsensus ahli-ahli hukum) dan melalui ijtihad (penalaran).[5]
            Identifikasi atribut yang menjadi illat hukum melalui konteks nas dilakukan dengan cara melihat nas. ‘Illat dalam nas terkadang disebutkan secara langsung dan kadang-kadang berupa isyarat. ‘Illat yang disebutkan secara langsung biasanya ditandai dengan lafaz-lafaz dan lain sebagainya.
            Sedangkan ‘illat yang diketahui melalui isyarat biasanya dengan menggunakan sifat yang mengiringinya, seperti ayat :

الزانية والزاني فاجلدوا كل واحد منهما مائة جلدة

           
Disebutkannya az-zaniyyat waz-zani beriringan dengan lafaz fajlidu menunjukkan sifat dengan hukum. Maka dapat diketahui bahwa ‘illatnya adalah berzina.
            ‘Illat yang diketahui dengan ijma’ ialah ‘illat yang telah disepakati oleh para mujtahid. Sebagai misal adalah ‘illat “as-sighar” dalam masalah perwalian anak kecil dalam masalah harta.
            Apabila tidak ada ijma’ mengenai ‘illat suatu hukum, maka kita menggunakan tehnik ketiga, yaitu melalui ijtihad (penalaran). Ada dua cara yang diikuti dalam penalaran untuk mengidentifikasi ‘illat, pertama, klasifikasi dan eliminasi (as-sabr wa at-taqsim), yaitu pengujian terhadap ’illat dengan cara mengidentifikasi semua atribut yang diperkirakan mungkin menjadi ‘illat hukum kemudian satu-persatu ‘illat yang diperkirakan itu diuji untuk menemukan suatu ‘illat yang paling mungkin, kemudian ‘illat-illat lainnya dieliminasi. Sebagai misal ialah kasus seorang badui yang berhubungan badan (bersetubuh) dengan isterinya pada waktu siang hari di bulan Ramadhan. Oleh Nabi SAW ia diwajibkan membayar kaffarah. Pada mulanya mujtahid menduga bahwa berhubungan badan ialah ‘illatnya. Namun setelah diadakan penelitian lebih lanjut dan diadakan penyaringan hukum dari berbagai ‘illat, maka para mujtahid menetapkan adanya unsur kesengajaan berhubungan badan pada siang hari bulan Ramadhan sebagai ‘illat bagi kewajiban membayar kaffarah.[6]
Sedangkan kedua, dengan cara pengujian kesesuaian atribut yang dinyatakan sebagai ’illat dengan hukum, dan ini disebut konformitas (munasabah).    
Semua hukum hasil ijtihad harus ada ‘illatnya. Tuhan dalam menetapkan hukum memakai teori kebijaksanaan Tuhan “hal af’alullah mu’allalah bil mashalih amla?. Hal itu bisa dijelaskan secara logis dan ada alasannya, bisa disebutkan dan tidak disebutkan (bisa digali dan tidak bisa digali), sedangkan yang tidak bisa digali sangat kecil.
Struktur hukum Islam ada kaidah (rumah/bangunan) atau hukum/norma dan ada fondasi (dasar hukum/’illat) yakni analisis ‘illat dengan ilmu-ilmu yang modern. Misalnya kajian ilmu ekonomi Islam yang dilakukan oleh Anas Zarqa’ dalam kitabnya Islamiyyat ‘Ilm al-Iqtishad.


G.    Ayat-Ayat Yang Menjadi Penghujjah Penalaran Ta’lili

Surat Al-Baqarah ayat: 222

وَيَسْأَلُونَكَ عَنِ الْمَحِيضِ قُلْ هُوَ أَذًى فَاعْتَزِلُواْ النِّسَاء فِي الْمَحِيضِ وَلاَ تَقْرَبُوهُنَّ حَتَّىَ يَطْهُرْنَ فَإِذَا تَطَهَّرْنَ فَأْتُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ أَمَرَكُمُ اللّهُ إِنَّ اللّهَ يُحِبُّ التَّوَّابِينَ وَيُحِبُّ الْمُتَطَهِّرِينَ
Artinya:
Mereka bertanya kepadamu tentang haidh. Katakanlah: "Haidh itu adalah suatu kotoran". Oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haidh; dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri.

Surat An-Nisaa ayat: 59
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ أَطِيعُواْ اللّهَ وَأَطِيعُواْ الرَّسُولَ وَأُوْلِي الأَمْرِ مِنكُمْ
Artinya:
Hai orang-orang yang beriman, ta’atilah Allah dan ta’atilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu”. (an-Nisaa:59).



BAB III
KESIMPULAN

  Dari uraian-uraian di atas dapat disimpulkan sebagai berikut :
1.      Ada dua macam perangkat atau metode yang dikembangkan oleh para teoretisi hukum Islam dalam rangka melakukan istinbath, yaitu metode istinbath ushuli dan metode istinbath qawaid kulliyyah.
2.      Yang termasuk metode istinbaht ushuli adalah metode interpretasi linguistik (ath-thuruq al-bayaniyah), metode kausasi (istinbath ta’lili) dan metode istinbath istishlahi.
 3.   Bahwa istilah istinbath menurut para ulama ushul agaknya identik dengan ijtihad.
4.   Konstruksi metodologi hukum Islam sampai saat ini masih efektif digunakan sebagai metodologi penalaran hukum. Artinya metode kausasi (ijtihad ta’lili) akan digunakan apabila metode interpretasi linguistik (ath-thuruq al-bayaniyyah) dirasa kurang menjangkau tujuan hukum.
Demikianlah pembahasan tentang metode ijtihad ta’lili dalam tulisan ini. Ijtihad akan selalu terbuka dilakukan jika hukum yang telah ada belum bisa menjawab permasalahan yang berkembang dan aktual dalam masyarakat muslim.  
Wa Allah A’lam bi ash-Shawab. Wa syukran ilaikum ya ustazah……..!!!!!




DAFTAR PUSTAKA

Az-Zuhaili, Wahbah, Ushul al-Fiqh al-Islami (Damaskus : Dar al-Fikr,1986), cet. I

Anwar, Syamsul, “Teori Konformitas dalam Metode Penemuan Hukum Islam al-Gazzali” dalam M. Amin Abdullah, dkk., Antologi Studi Islam: Teori dan Metodologi (Yogyakarta : DIP PTA IAIN Sunan Kalijaga, 2000), cet. I.

Zein, Fuad, “Aplikasi Ushul Fiqh dalam Mengkaji Keuangan Kontemporer” dalam M. Amin Abdullah, dkk., “Mazhab Jogja” : Menggagas  Paradigma Ushul Fiqh Kontemporer (Yogyakarta : Ar-Ruzz Press, 2002), cet. I.

Kamali, Muhammad Hashim, Prinsip dan Teori-teori Hukum Islam (Ushul al-Fiqh), terj. Noor Haidi (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 1996), cet.I.




[1] Syamsul Anwar, “Teori Konformitas dalam Metode Penemuan Hukum Islam al-Gazzali” dalam M. Amin Abdullah dkk., Antologi Studi Islam : Teori dan Metodologi (Yogyakarta : DIP PTA IAIN Sunan Kalijaga, 2000), cet. I, h. 273-274.
[2] Asy-Syarif Ali bin Muhammad al-Jurjani, Kitab at-Ta’rifat (Beirut : Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1988), h. 22
[3] Muhammad Salam Madzkur, al-Ijtihad fi at-Tasyri’ al-Islami (Beirut : Dar an-Nahdhah al-‘Arabiyah, 1984), h. 42-49; Muhammad Ma’ruf ad-Dawalibi, al-Madkhal ila ‘Ilm Ushul al-Fiqh (Damaskus : Dar al-Kutub al-Jadidah, 1965), h. 405-412. Sejauh ini para ahli hukum Islam tidak menyebut penyelarasan/sinkronisasi (at-taufiq) sebagai salah satu metode penemuan hukum. Menurut Syamsul Anwar, sesungguhnya metode ijtihad qiyasi dan metode ijtihad istishlahi dapat dimasukkan ke dalam satu kategori, yaitu metode kausasi. Dengan demikian, metode penemuan hukum Islam dapat dibedakan menjadi tiga macam yaitu metode interpretasi linguistik, metode kausasi dan metode penyelarasan. Lihat Syamsul Anwar, “Teori Konformitas…”, h. 275.
[4] Mushtafa Syalabi, Ta’lil al-Ahkam (Beirut : Dar an-Nahdhah al-‘Arabiyyah, 1981), h. 14-34
[5] Al-Gazzali, al-Mustashfa min “ilm al-Ushul (Kairo : Syirkah ath-Thiba’ah al-Fanniyyah al-Muttahidah, 1971), h. 430-440; ‘Abd al-Wahhab al-Khallaf, ‘Ilm…, h. 75-7
[6] Wahbah az-Zuhaili, Ushul al-Fiqh al-Islami (Dar al-Fikr, 1986), cet. I, h. 692.