Jumat, 16 November 2012

Lafazh Khafiyud Dalalah


BAB II
PEMBAHASAN
A.Pengertian Khafiyud Dalalah
            Khafiyud dalalah ialah lafazh yang penunjuknya kepada makna yang dikehendaki bukan oleh sighat itu sendiri,akan tetapi karena tergantung kepada sesuatu dari luar.Ketergantungannya kepada sesuatu dari luar lantaran adanya kekaburan pengertian pada lafazhnya.[1]

            Kekaburan pengertian itu dapat dihilangkan dengan jalan mengadakan penelitian dan ijtihad.Lafazh yang dapat dihilangkan kekaburannya dengan jalan ini disebut lafazh khafiy dan musykil.Sedang lafazh yang tidak dapat dihilangkan kekaburannya melainkan dengan mencari penafsirannya dari syar’i sendiri disebut lafazh mujmal.Dan apabila tidak ada jalan lain untuk menghilangkan kekaburannya disebut lafazh mutasyabih.[2]

B.Tingkatan Lafazh Khafiyud Dalalah
            Para ahli ushul mengklasifikasi tingkatan lafazh khafiyud dalalah menjadi 4 macam,yaitu:
         a.Khafiy (samar)
            Arti khafy secara harfiah adalah tersembunyi.Sedangkan istilah artinya adalah suatu lafazh yang sebetulnya bisa dipahami dengan mudah,akan tetapi penerapan maknanya kepada satuannya terdapat kekaburan yang bukan disebabkan oleh lafazh itu sendiri,melainkan karena sebab-sebab luar,sehingga ada kesulitan untuk mengindentifikasi apakah beberapa hal lain juga tercakup kedalamnya.Misalnya keadaan sebagian satuannya mempunyai nama yang khas atau mempunyai sifat yang berbeda dengan satuan yang lain sehingga menimbulkan keraguan untuk dimasukkan kepada makna yang umum dari lafazh tersebut.[3]

            Contoh lafazh khafy ini adalah lafazh “ Sariq “ (pencuri) dalam firman Allah, Surat al-Maidah (5) : 38

ä-Í$¡¡9$#ur èps%Í$¡¡9$#ur (#þqãèsÜø%$$sù $yJßgtƒÏ÷ƒr& Lä!#ty_ $yJÎ/ $t7|¡x. Wx»s3tR z`ÏiB «!$# 3 ª!$#ur îƒÍtã ÒOŠÅ3ym ÇÌÑÈ
“Pencuri laki-laki dan pencuri perempuan,potonglah tangan keduanya.”
           
Lafazh “shariq” itu sendiri sebenarnya cukup jelas,yaitu “orang yang mengambil harta yang bernilai milik orang lain dalam tempat penyimpanannya secara sembunyi-sembunyi”.Penerapan hukuman terhadap pencuri dengan arti tersebut juga jelas namun lafazh “pencuri” itu mempunyai satuan arti (afrad) yang banyak,yaitu pencopet, perampok,pencuri barang kuburan dan lain sebagainya yang mempunyai kelebihan sifat atau kekurangan sifat dibandingkan dengan pencuri dalam arti luas.Apakah sanksi hukuman potong tangan diperlukan terhadap semua satuan arti itu.Disinilah timbul kesamaran tersebut.[4]
           
Umpamanya “pencopet”,ia mengambil harta orang lain bukan dengan cara sembunyi-sembunyi,tetapi secara terang-terangan melalui suatu cara yang memerlukan ketrampilan dalam kecepatan bertindak “pencopet” itu berbeda dengan “pencuri” karena “pencopet” memiliki kelebihan sifat yaitu keberanian dan kecepatan berbuat,sehingga dinamai dengan khusus yaitu “pencopet”.Apakah lafazh “pencuri” dapat mencakup pula dengan arti “pencopet” untuk dikenai sanksi potong tangan atau tidak,atau hanya diberlakukan sanksi berupa ta’zir.
            Contoh lain,lafazh ayah dan ibu (abawaini) serta anak (awlad) yang terdapat dalam surat an-Nisa, ayat 11 berikut:
ÞOä3ŠÏ¹qムª!$# þÎû öNà2Ï»s9÷rr& ( ̍x.©%#Ï9 ã@÷VÏB Åeáym Èû÷üusVRW{$# 4 bÎ*sù £`ä. [ä!$|¡ÎS s-öqsù Èû÷ütGt^øO$# £`ßgn=sù $sVè=èO $tB x8ts? ( bÎ)ur ôMtR%x. ZoyÏmºur $ygn=sù ß#óÁÏiZ9$# 4 Ïm÷ƒuqt/L{ur Èe@ä3Ï9 7Ïnºur $yJåk÷]ÏiB â¨ß¡9$# $£JÏB x8ts? bÎ) tb%x. ¼çms9 Ó$s!ur 4 bÎ*sù óO©9 `ä3tƒ ¼ã&©! Ó$s!ur ÿ¼çmrOÍurur çn#uqt/r& ÏmÏiBT|sù ß]è=W9$# 4 bÎ*sù tb%x. ÿ¼ã&s! ×ouq÷zÎ) ÏmÏiBT|sù â¨ß¡9$# 4 .`ÏB Ï÷èt/ 7p§Ï¹ur ÓÅ»qム!$pkÍ5 ÷rr& AûøïyŠ 3 öNä.ät!$t/#uä öNä.ät!$oYö/r&ur Ÿw tbrâôs? öNßgƒr& Ü>tø%r& ö/ä3s9 $YèøÿtR 4 ZpŸÒƒÌsù šÆÏiB «!$# 3 ¨bÎ) ©!$# tb%x. $¸JŠÎ=tã $VJŠÅ3ym ÇÊÊÈ


Artinya:
   Dan untuk kedua orang tua ibu bapa,bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkannya,jika yang meninggal itu mempunyai anak jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan dia diwarisi oleh ibu bapanya (saja),maka ibunya mendapat sepertiga.(QS.al-Nisa’:11)
        Pengertian orang tua (abawain) dalam ayat diatas cukup jelas diketahui.Tetapi persoalannya,masuknya nenek dan kakek kedalam pengertian ini,sekiranya nenek dan kakek masuk dalam lafazh dimaksud,apakah semuanya / hanya nenek dan kakek dari garis tertentu saja.Begitu juga dengan pengertian anak tersebut,keturunan yang lebih rendah,yaitu cucu dan cicit.Sekiranya masuk apakah semua dari garis laki-laki dan perempuan,atau hanya garis saja yang dianggap masuk.Lebih dari itu masukkan anak angkat kedalam pengertian lafazh awlad itu tadi.Dengan demikian,lafazh-lafazh yang pada mulanya mudah dipahami,karena adanya sebab-sebab luar artinya menjadi kabur.[5]
      Menurut para ulama ushul fiqh,hal-hal yang tersembunyi (tidak secara jelas dicakup oleh lafazh) tersebut tidak dianggap masuk kedalam cakupan lafazh yang dimaksud,sebelum diadakan penelitian dan perenungan yang mendalam terhadap lafazh tersebut.Dalam perenungan ini para mujtahid harus meperhatikan nash yang terkait serta ruh dan tujuan pensyari’atan.[6]
            Dari dua contoh yang dikemukakan diatas teranglah bahwa kesamaran lafazh bukanlah timbul dari asal lafazh itu sendiri tetapi dari segi penerapannya terhadap kejadian-kejadian praktis.Karena ada kesamaran seperti itulah,maka hakim dapat berbeda dalam memberikan putusan hukum.
            Adapun cara untuk menghilangkan kesamaran tersebut adalah melalui penelitian,mengetahui tujuan umum dan tujuan khusus ditetapkannya hukum atasnya,yaitu “perluasan” penunjak lafazh atau “penyempitan” dalam penerapannya. Kemaslahatan umum harus diperhatikan dalam perluasan dan penyempitan tersebut,selama suatu lafazh dapat digunakan untuk kemaslahatan umum.[7]
            Dari Uraian diatas barangkali dapat disimpulkan bahwa dalam beberapa hal mudah membedakan antara zhahir dan khafi.Tetapi dalam beberapa hal lagi,batas tersebut agak kabur,karena lafazh yang zhahir dari satu segi menjadi khafi ketika dilihat dari segi lainnya,jadi dalam beberapa lafazh,yang menjadikan dia zhahir atau khafi adalah perspektif tinjauannya.

         b.Musykil (sulit)
            Lafazh musykil adalah;
مَا خُفِيَ مَعْنَاهُ بِسَبَبٍ  فىِ ذَاتِ اللّفْظِ

Suatu lafazh yang samar artinya disebabkan oleh lafazh itu sendiri.

Musykil secara lughawi berarti pelik.Sedang sebagai istilah didefinisikan sebagai lafazh yang sighatnya sendiri tidak menunjukkan kepada makna yang dikehendaki,akan tetapi harus ada qarinah dari luar agar menjadi jelas apa yang dikehendakinya.Lafazh ini tidak mudah menentukan maknanya sebab ia mempunyai beberapa kemungkinan arti.[8] Oleh karenanya diperlukan qarinah,dari luar yang menjelaskan apa yang dimaksud oleh lafazh tersebut.[9] Qarinah (petunjuk) itu dapat diketahui dengan pembahasan atau penelitian.[10]
            Perbedaan antara lafazh khafi dan musykil adalah bahwa pada lafazh khafi kekaburan maknanya bukan disebabkan dari lafazh itu sendiri.Akan tetapi,disebabkan adanya keraguan makna atas sebagian satuannya karena sesuatu dari luar.Adapun kekaburan makna lafazh musykil berasal dari lafazh itu sendiri,karena lafazh itu diciptakan untuk beberapa makna.

Kemusykilan lafazh itu timbul disebabkan :
  1. Karena lafazh itu musytarak,yaitu lafazh yang diciptakan untuk beberapa arti sedang sighatnya sendiri tidak menunjukkan makna tertentu.Oleh karena itu dicari qarinahnya untuk menentukan makna manakah yang dimaksud.Misal-nya lafazh “ Quru’ ” dalam Firman Tuhan:

àM»s)¯=sÜßJø9$#ur šÆóÁ­/uŽtItƒ £`ÎgÅ¡àÿRr'Î/ spsW»n=rO &äÿrãè% 4 Ÿwur @Ïts £`çlm; br& z`ôJçFõ3tƒ $tB t,n=y{ ª!$# þÎû £`ÎgÏB%tnör& bÎ) £`ä. £`ÏB÷sム«!$$Î/ ÏQöquø9$#ur ̍ÅzFy$# 4 £`åkçJs9qãèç/ur ,ymr& £`ÏdÏjŠtÎ/ Îû y7Ï9ºsŒ ÷bÎ) (#ÿrߊ#ur& $[s»n=ô¹Î) 4 £`çlm;ur ã@÷WÏB Ï%©!$# £`ÍköŽn=tã Å$rá÷èpRùQ$$Î/ 4 ÉA$y_Ìh=Ï9ur £`ÍköŽn=tã ×py_uyŠ 3 ª!$#ur îƒÍtã îLìÅ3ym ÇËËÑÈ

Artinya:Wanita-wanita yang ditalak hendaknya menahan diri (beriddah) tiga
               kali suci (al-Baqarah : 228)
Menurut bahasa lafazh “ Quru’ “ itu diciptakan untuk dua arti,yaitu “suci” dan “haid”.Dengan demikian timbullah kemusykilan untuk menetapkan apakah ‘iddah wanita yang ditalak itu 3 kali suci atau 3 kali haid.
Ulama Mazhab Hanafiyah menetapkan arti quru’ itu ialah haid. Demikian juga Imam Ahmad karena sebagaimana diketahui bahwa syara’ mengadakan syariat ‘iddah itu gunanya adalah untuk mengetahui kesucian rahim isteri ( tidak mengandung ).Haidlah alat yang dapat menetapkan apakah ia mengandung atau tidak.Disamping itu juga didapatkan hadist yang dapat menjelaskan bahwa ‘iddah itu hendaknya dengan haid.Sabda Rasulullah Saw ;
طَلاَقُ الأُمَّةِ ثِنْتَانِ وَعِدَّتهَُا حَيْضَتَانِ (رواه ابو داود والترمذى)
                                                                                                             Artinya : Hak menjatuhkan talak kepada budak wanita itu adalah dua kali dan
   iddah baginya adalah dua kali haid.(Rw.Abu Daud dan Al-Tarmidzi)
Ulama Syafi’iyah dan sebagian mujtahid mengartikan lafazh quru’ itu dengan suci.Karena dita’tanitskannya (diberi tanda lafazh perempuan) kata bilangan (tsalatsatu) menunjukkan bahwa sesuatu yang ditunjuk oleh kata bilangan (ma’dud) itu adalah mudzakar (lafazh laki-laki).Yaitu lafazh “thuhrun” (suci) bukan “haid” (lafazh mu’annats).Jadi,lafazh tsalatsatu quru’ itu artinya “tsalatsatu athhar” (tiga kali suci)

  1. Adanya dua lafazh yang saling berlawanan.
Artinya kedua nash itu jelas dalalahnya,tidak ada kesukaran sedikitpun.Akan tetapi kemusykilannya terletak dalam mantaufiqkan (mengkompromikannya) antara kedua nash yang saling berlawanan itu.[11]Misalnya firman Tuhan ;

!$¨B y7t/$|¹r& ô`ÏB 7puZ|¡ym z`ÏJsù «!$# ( !$tBur y7t/$|¹r& `ÏB 7py¥Íhy `ÏJsù y7Å¡øÿ¯R 4 y7»oYù=yör&ur Ĩ$¨Z=Ï9 Zwqßu 4 4s"x.ur «!$$Î/ #YÍky­ ÇÐÒÈ
Artinya : “Apa saja nikmat yang kamu peroleh adalah dari Allah dan apa saja
               bencana yang menimpamu adalah akibat dari kesalahanmu sendiri
               ...”( an-Nisa : 79 )
Dengan firman Tuhan

$yJoY÷ƒr& (#qçRqä3s? ãNœ3.ÍôムÝVöqyJø9$# öqs9ur ÷LäêZä. Îû 8lrãç/ ;oy§t±B 3 bÎ)ur öNßgö6ÅÁè? ×puZ|¡ym (#qä9qà)tƒ ¾ÍnÉ»yd ô`ÏB ÏZÏã «!$# ( bÎ)ur öNßgö6ÅÁè? ×py¥ÍhŠy (#qä9qà)tƒ ¾ÍnÉ»yd ô`ÏB x8ÏZÏã 4 ö@è% @@ä. ô`ÏiB ÏZÏã «!$# ( ÉA$yJsù ÏäIwàs¯»yd ÏQöqs)ø9$# Ÿw tbrߊ%s3tƒ tbqßgs)øÿtƒ $ZVƒÏtn ÇÐÑÈ

     “………Katakanlah,bahwa semuanya itu dari sisi Allah………” ( an-Nisa : 78 )

Cara-cara untuk menghilangkan kemusykilan :
            Cara menghilangkan kemusykilan adalah dengan ijtihad.Oleh karena itu,bila seorang menemukan lafazh nash yang musytarak,hendaklah ia mencari qarinahnya untuk menghilangkan kemusykilan itu.Dalam kegiatan ini para ulama diharuskan mencari keterangan (Qarinah) dari qiyas nash,ayat-ayat lainnya sekiranya ada,hadis-hadis Rasulullah,bahkan juga buku kamus atau bukti-bukti kebahasan lainnya,misalnya kutipan dari bait-bait sya’ir sehingga dapat menentukan mana diantara makna-makna tersebut yang sejalan dengan maksud nash.
            Apabila seorang mujtahid menemukan dua buah nash yang secara lahirnya bertentangan,hendaklah mencari ta’wilnya,baik dari nash-nash yang lain,Qaidah-qaidah syari’at maupun dari hikmah tasyri’ atau sebagaimana yang mereka lakukan dalam mencari arti akibat kemusytarakan seperti tersebut diatas,yakni dari kamus,sya’ir dan sebagainya.Akhirnya perlu disebutkan bahwa antara nash dengan musykil ini tidak ada hubungan.Maksudnya lafazh musykil ini tidak dapat ditingkatkan menjadi lafazh nash,begitu juga lafazh nash tidak bisa diturunkan menjadi musykil.[12]

         c. Mujmal (global)
            Lafazh mujmal dalam pengertian sederhana adalah,
اَلْلَفْظُ اّلذِى يَنْطَوِى مَعْنَاهُ عَلى عِدّةِ أَخْوالٍ وَأَحْكَامِ قَدْجُمِعَتْ فِيْهِ

            “ Lafazh yang maknanya mengandung beberapa keadaan dan beberapa hukum
            yang terkumpul didalamnya.”[13]

            Mujmal ini lafazh yang sighatnya sendiri tidak menunjukkan makna yang dikehendaki dan tidak pula didapati Qarinah Lafziah (tulisan) atau Haliyah (lisan) yang menjelaskannya.Jadi mujmal adalah lafazh yang tidak diketahui maknanya kecuali setelah mendapat penjelasan dari orang (sumber) yang menggunakan lafazh tersebut.Misalnya seorang guru yang punya banyak anak murid berkata kepadamu:”Tadi siang seorang bekas murid saya datang kemari”.Kita tentu tidak bisa mengetahui siapa yang dia maksud kalau bukan dia sendiri yang menjelaskannya.
            Dalam hubungan nash syar’I,mujmal adalah lafazh yang tidak diketahui maknanya kecuali setelah mendapat penjelasan dari Allah atau Rasul itu sendiri,Namun sebagian ulama Syafi’iyah memberikan definisi yang lebih luas.Menurut mereka,mujmal adalah lafazh yang untuk mengetahui artinya perlu perenungan dan pengertian yang mendalam.Berbeda dengan definisi pertama tadi,dalam yang kedua ini para mujtahid mungkin mengetahui arti mujmal melalui penalaran bebasnya sendiri,sedang menurut definisi pertama tadi mujtahid tidak mungkin mengetahui arti mujmal melalui penalaran bebasnya.Jadi,ada tumpang tindih antara pengertian musykil dengan mujmal dalam definisi yang kedua ini.
            Dengan demikian,semua lafazh mujmal yang terdapat didalam Al-Qur’an atau hadis telah dijelaskan oleh Rasulullah sehingga statusnya kini telah menjadi lafazh mufassar.Suatu lafazh dikatakan mujmal apabila tidak mungkin diketahui artinya melalui kajian atau penelitian kebahasan dan belum ditemukan nash lain yang menjelaskannya.Tetapi setelah ditemukan nash yang menjelaskannya maka nash tersebut menjadi mufassir.
            Sekiranya sesuatu lafazh tidak diketahui artinya dan tidak ada penjelasan syara’ tentang maknanya,maka lafazh tersebut bukan lafazh mujmal.Dengan kata lain kalau suatu lafazh dikatakan mujmal maka penjelasannya harus dicari didalam al-Quran atau sunnah dan harus dipahami sesuai dengan penjelasan itu tadi.Para ulama tidak diizinkan menafsirkan lafazh mujmal berdasarkan ijtihad bebas.Andaipun mereka tafsirkan (ijtihadkan sendiri),maka penafsiran tersebut dianggap tidak sah dan tidak boleh dipakai.
            Misalnya perintah zakat dalam al-Qur’an surat al-Baqarah : 43
(#qßJŠÏ%r&ur no4qn=¢Á9$# (#qè?#uäur no4qx.¨9$# (#qãèx.ö$#ur yìtB tûüÏèÏ.º§9$# ÇÍÌÈ
            Artinya:Dan tunaikanlah zakat (Q.S.al-Baqarah:43)
            Kandungan ayat ini dianggap mujmal dan karena itu perlu kepada mufassir,yakni ayat-ayat atau hadis yang menjelaskannya secara terperinci.Salah satunya ayat yang menjelaskan zakat adalah al-Baqarah ayat 267 yang berbunyi :

$ygƒr'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#þqãZtB#uä (#qà)ÏÿRr& `ÏB ÏM»t6ÍhŠsÛ $tB óOçFö;|¡Ÿ2 !$£JÏBur $oYô_t÷zr& Nä3s9 z`ÏiB ÇÚöF{$# ( Ÿwur (#qßJ£Jus? y]ŠÎ7yø9$# çm÷ZÏB tbqà)ÏÿYè? NçGó¡s9ur ÏmƒÉÏ{$t«Î/ HwÎ) br& (#qàÒÏJøóè? ÏmÏù 4 (#þqßJn=ôã$#ur ¨br& ©!$# ;ÓÍ_xî îŠÏJym ÇËÏÐÈ

            Artinya:Hai orang-orang yang beriman,nafkahkanlah (dijalan Allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang kami keluarkan dari bumi untuk kamu.(Q.S.al-Baqarah:267)
            Dalam ayat ini Allah memerintahkan seorang beriman supaya menafkahkan sebagian hasil usahanya yang baik-baik dan sebagian dari hasil bumi yang diberikan Allah kepada mereka.Tetapi ayat ini pun masih dianggap mujmal,karena batasan dan cara mengeluarkan zakat tadi belum seluruhnya diketahui.Karenanya perlu kepada nash lain untuk menjelaskannya,dalam hal ini hadis-hadis Rasulullah.Dalam hadis-hadis inilah ditemukan uraian mengenai nisab,haul dan kadar termasuk juga jenis benda (penghasilan) yang harus dizakati.Namun karena jumlah hadis tersebut tidak hanya satu buah,melainkan banyak dan kualitasnya pun tidak sama,lebuh dari itu penjelasan dalam hadis itupun sedemikian rupa keadaannya,maka para ulama masih mungkin melakukan ijtihad (penalaran) baik melalui pemaduan antara hadis-hadis yang ada ataupun dengan menggunakan kaidah-kaidah kebahasaan terhadap hadis-hadis ini.
            Terhadap contoh zakat diatas tadi,perlu ditegaskan,ijtihad yang dilakukan ulama terhadap hadis-hadis dan bukan terhadap al-Quran.Akhirnya dapat ditegaskan bahwa lafazh mujmal dengan mufassar adalah dua sisi yang berbeda dari “satu mata uang”.Maksudnya lafazh tersebut dianggap mujmal dan sebelum diketahui atau dijelaskan.Adapun setelah ditunjul oleh nash yang menjadi pemjelasanya maka lafazh tersebut menjadi mufassar.[14]

         d.Mutasyabih (serupa)
            Lafazh mutasyabih,secara bahasa (arti kata),lafazh yang meragukan pengertiannya karena mengandung beberapa persamaan.Dalam istilah hukum,lafazh mutasyabih adalah :

اَللَْفْظُ اّلذِى يَغْفَى مَعْنَاهُ وَلاَ سَبِيْلَ لِاَنْ تُدْرِكْهُ عُقُوْلِ الْعُلَمَاءِ

“Lafazh yang samar artinya dan tidak ada cara yang dapat digunakan untuk mencapai artinya”.[15]

Ketidakjelasan lafazh mutasyabih ini ialah lafazh yang sighatnya sendiri tidak menunjukkan kepada makna yang dikehendaki dan tidak didapati pula qarinah. Qarinah dari luar yang menjelaskannya.[16] Sebagian lafazh mutasyabih tidak mempunyai arti denotasi,misalnya beberapa ayat diawal surat;sedang sebagian lagi mempunyai arti denotasi tetapi arti ini tidak bisa digunakan.[17] Misalnya surat al-Fath ayat 10 :

¨bÎ) šúïÏ%©!$# y7tRqãè΃$t6ム$yJ¯RÎ) šcqãè΃$t7ム©!$# ßtƒ «!$# s-öqsù öNÍkÉ÷ƒr& 4 `yJsù y]s3¯R $yJ¯RÎ*sù ß]ä3Ztƒ 4n?tã ¾ÏmÅ¡øÿtR ( ô`tBur 4nû÷rr& $yJÎ/ yyg»tã çmøn=tæ ©!$# ÏmÏ?÷sã|¡sù #·ô_r& $VJÏàtã ÇÊÉÈ


            Artinya:Tangan Allah diatas tangan mereka (Q.S.al-Fath : 10)

            Dalam ayat ini dinyatakan bahwa tangan Allah diatas tangan mereka.Tetapi arti denotasi ini tentu tidak bisa digunakan karena Allah tidak mempunyai tubuh.Begitu juga surat Hud ayat 37 yang berisi perintah Nabi Nuh agar membuat perahu dibawah penglihatan (mata) Allah :

ÆìoYô¹$#ur y7ù=àÿø9$# $uZÏ^ãôãr'Î/ $oYÍŠômurur Ÿwur ÓÍ_ö7ÏÜ»sƒéB Îû tûïÏ%©!$# (#þqßJn=sß 4 Nåk¨XÎ) tbqè%tøóB ÇÌÐÈ
        
  Artinya:Dan buatlah bahtera itu dengan pengawasan dan petunjuk wahyu kami(Q.S.Hud : 37)
          Sebagaimana halnya ayat sebelumnya,maka lafazh a’yun disini tentu bukan dalam arti denotatif;Contoh lain bisa disebutkan surat al-Fajr ayat 32 yang menyatakan bahwa (pada hari kiamat) Allah datang bersama malaikat yang berbaris. Datang disini tentu tidak bisa diartikan secara denotatif.
        Dalam hubungan ini satu hal perlu dicatat,dalam ayat hukum tidak ditemukan lafazh mutasyabihat.Lafazh ini hanya ditemukan didalam ayat-ayat kalam atau tauhid.Karena itu pembahasan lafazh jenis ini didalam ushul fiqh dianggap tidak terlalu penting dan sering hanya sekedar disebutkan untuk melengkapkan kategori saja.[18]


















BAB III
KESIMPULAN

            Khafiyud dalalah ialah lafazh yang penunjuknya kepada makna yang dikehendaki bukan oleh sighat itu sendiri,akan tetapi karena tergantung kepada sesuatu dari luar.Ketergantungannya kepada sesuatu dari luar lantaran adanya kekaburan pengertian pada lafazhnya
            Para Ahli Ushul mengklasifikasi tingkatan lafazh khafiyud dalalah kepada 4 macam,yaitu:
         a.Khafi
            Yaitu lafazh yang penunjuknya kepada maknanya jelas,akan tetapi penerapan maknanya kepada sebagian satuannya terdapat kekaburan yang bukan disebabkan oleh lafazh itu sendiri.
         b.Musykil
            Ialah lafazh yang sighatnya sendiri tidak menunjukkan kepada makna yang dikehendaki,akan tetapi harus ada Qarinah dari luar agar menjadi jelas apa yang dikehendakinya.
         c.Mujmal
            Ialah lafazh yang sighatnya sendiri tidak menunjukkan makna yang dikehendaki dan tidak pula didapati Qarinah lafzhiyah (tulisan) atau haliyah (keadaan) yang menjelaskannya.
         d.Mutasyabih
            Ialah lafazh yang sighatnya sendiri tidak menunjukkan kepada makna yang dikehendaki dan tidak didapati pula Qarinah.Qarinah dari luar yang menjelaskannya.


[1]      Mukhtar Yahya.Fatchur Rahman,Dasar-dasar Pembinaan Hukum Fiqh Islam,(Bandung:
Al ma’arif.1997).hal : 285
[2]     Ibid
[3]    Mukhsin Nyak Umar,Ushul Fiqh,(Banda Aceh:Ar Raniry Press.2008).hal : 204-205
[4]    Amir Syarifuddin,Ushul Fiqh Jilid 2,(Jakarta:Logos Wacana Ilmu.2001).hal : 13-14
[5]    Muksin Nyak Umar,Ushul Fiqh………hal : 206
[6]    Ibid
[7]     Amir Syarifuddin,Ushul Fiqh Jilid 2………hal : 15
[8]     Muksin Nyak Umar,Ushul Fiqh………hal : 207
[9]    Amir Syarifuddin,Ushul Fiqh Jilid 2………hal : 15-16
[10]    Abdul Wahab Khallaf,Ilmu Ushul Fiqh………hal : 247
[11]    Mukhtar Yahya.Fathur Rahman,Dasar-dasar Pembinaan Hukum Fiqh………hal : 287-289   
[12]    Muksin Nyak Umar,Ushul Fiqh………hal : 209
[13]    Amir Syarifuddin,Ushul Fiqh Jilid 2………hal : 20
[14]    Muksin Nyak Umar,Ushul Fiqh………hal : 209-211
[15]    Amir Syarifuddin,Ushul Fiqh Jilid 2……… hal : 21
[16]    Mukhtar Yahya.Fatchur Rahman,Dasar-dasar Pembinaan Hukum………hal : 293
[17]    Muksin Nyak Umar,Ushul Fiqh………hal : 212
[18]    Ibid

1 komentar:

  1. If you're attempting to lose pounds then you certainly need to try this brand new tailor-made keto meal plan diet.

    To produce this keto diet, certified nutritionists, fitness trainers, and cooks united to develop keto meal plans that are productive, suitable, price-efficient, and satisfying.

    Since their launch in 2019, 1000's of individuals have already completely transformed their body and health with the benefits a proper keto meal plan diet can offer.

    Speaking of benefits; clicking this link, you'll discover 8 scientifically-proven ones given by the keto meal plan diet.

    BalasHapus