Minggu, 12 Februari 2012

hukum adat


BAB I
PENDAHULUAN


A.  Pengertian
Adat merupakan suatu peraturan, kebiasaan-kebiasaan yang tumbuh dan terbentuk dari suatu masyarakat atau daerah yang dianggap memiliki nilai dan dijunjung serta dipatuhi masyarakat atau daerah yang dianggap memiliki nilai dan dijunjung serta dipatuhi masyarakat pendukungnya. Di Indonesia aturan-aturan tentang segi kehidupan manusia tersebut menjadi aturan-aturan hukum yang mengikat yang disebut hukum adat. Adat telah melembaga dalam kehidupan masyarakat, baik berupa tradisi, adat upacara dan lain-lain yang mampu mengendalikan perilaku warga masyarakat dengan perasaan senang atau bangga, dan peranan tokoh adat yang menjadi tokoh masyarakat menjadi cukup penting.
Adat merupakan norma yang tidak tertulis namun sangat kuat mengikat sehingga anggota-anggota masyarakat yang melanggar adat-istiadat akan menderita, karena sanksi keras yang kadang-kadang sacara tidak langsung dikenakan. Misalnya pada masyarakat yang melarang terjadinya perceraian, maka tidak hanya yang bersangkuatan yang mendapatkan sanksi atau menjadi tercemar, tetapi seluruh keluarga atau bahkan masyarakatnya.


B.  Tujuan
Memberikan pemahaman kepada para peserta untuk dapat memahami secara lebih mendalam pengertian tentang adat ditinjau dari ilmu pendidikan akidah serta hal-hal bersangkut paut dengannya.


BAB II
PEMBAHASAN

A.  Lembaga Adat dan Peranannya

Adat bagi suatu bangsa merupakan ruh yang menggerakkan bangsa atau suku tersebut untuk menjaga eksitensi dan jati dirinya. Adat bukan saja bagian dari benda-benda peninggalan sejarah dan tata cara prilaku hidup masyarakat setempat, tapi juga merupakan bagian dari pranata sosial yang berfungsi sebagai suatu lembaga yang mampu menyelesaikan bermacam persoalan yang muncul dalam masyarakat. Dalam khazanah kebudayaan Aceh, adat sebagai institusi, walaupun wujudnya sekarang belum mengambil bentuknya seperti lembaga-lembaga/ institusi-institusi pemerintahan, tetap telah memainkan peran pentingnya dalam mengatur pola hidup bangsa ini.

1.    Pengertian Lembaga Adat
Istilah lembaga adat merupakan dua rangkaian kata yang terdiri dari kata “lembaga” dan “adat”. Kata lembaga dalam bahasa Inggris disebut Institution yang bermakna pendirian, lembaga, adat dan kebiasaan. Dari pengertian literal ini, lembaga dapat diartikan sebagai sebuah istilah yang menunjukkan kepada pola prilaku manusia yang mapan terdiri dari interaksi sosial yang memiliki struktur dalam suatu kerangka nilai yang relevan. Struktur adalah tumpukan logis lapisan-lapisan yang ada pada sistem hukum yang bersangkutan.[1]
Menurut ilmu-ilmu budaya, lembaga adalah suatu bentuk organisasi yang tersusun relatif tetap atas pola-pola kelakuan, peranan-peranan, dan relasi-relasi yang terarah dan mengikat individu, mempunyai otoritas formal dan sanksi hukum guna tercapainya kebutuhan-kebutuhan sosial dasar.[2]

2.    Lembaga Adat Dalam Lintasan Sejarah
Kita misalkan saja pada satu contoh dimana mengkaji tentang Asal Usul Masyarakat Aceh diaman adat istiadat suatu komunitas dapat diketahui secara lebih detil dengan terlebih dahulu dikaji asal usul masyarakat tersebut, apakah masyarakat tersebut suatu kelompok yang homogen dan telah sangat lama menetap di pemukiman tersebut atau heterogen yang merupakan kumpulan pendatang lalu mendiami suatu daerah.
Untuk masyarakat Aceh dimana dalam peta wilayah ini didapati beberapa kelompok masyarakat yang memiliki khazanah budaya dan adat istiadat yang beragam dan kadang cenderung berbeda atau ada pula yang agak mirip. Dalam masyarakat Aceh yang barangkali orang menganggap sebagai satu kesatuan suku namun hakikatnya memiliki komunitas yang majemuk, ditemukan keragaman adat-istiadat dan tradisi yang diwarisi, sebagiannya ada yang memiliki kesamaan dan kemiripan, namun tidak sedikit pula yang berbeda.

B.  Hukum adat
Hukum adat adalah sistem hukum yang dikenal dalam lingkungan kehidupan sosial di Indonesia dan negara-negara Asia lainnya seperti Jepang, India, dan Tiongkok. Sumbernya adalah peraturan-peraturan hukum tidak tertulis yang tumbuh dan berkembang dan dipertahankan dengan kesadaran hukum masyarakatnya. Karena peraturan-peraturan ini tidak tertulis dan tumbuh kembang, maka hukum adat memiliki kemampuan menyesuaikan diri dan elastis.
Istilah Hukum Adat pertama kali diperkenalkan secara ilmiah oleh Prof. Dr. C Snouck Hurgronje, Kemudian pada tahun 1893, Prof. Dr. C. Snouck Hurgronje dalam bukunya yang berjudul "De Atjehers" menyebutkan istilah hukum adat sebagai "adat recht" (bahasa Belanda) yaitu untuk memberi nama pada satu sistem pengendalian sosial (social control) yang hidup dalam Masyarakat Indonesia. Istilah ini kemudian dikembangkan secara ilmiah oleh Cornelis van Vollenhoven yang dikenal sebagai pakar Hukum Adat di Hindia Belanda (sebelum menjadi Indonesia).
Pendapat lain terkait bentuk dari hukum adat, selain hukum tidak tertulis, ada juga hukum tertulis. Hukum tertulis ini secara lebih detil terdiri dari hukum ada yang tercatat (beschreven), seperti yang dituliskan oleh para penulis sarjana hukum yang cukup terkenal di Indonesia, dan hukum adat yang didokumentasikan (gedocumenteerch) seperti dokumentasi awig-awig di Bali.

1.    Hukum adat di Indonesia
Dari 19 daerah lingkungan hukum di Indonesia, sistem hukum adat dibagi dalam tiga kelompok, yaitu:
-       Hukum Adat mengenai tata negara
-       Hukum Adat mengenai warga (hukum pertalian sanak, hukum tanah, hukum perhutangan).
-       Hukum Adat mengenai delik (hukum pidana).

2.    Wilayah Hukum Adat di Indonesia
Menurut hukum adat, wilayah yang dikenal sebagai Indonesia sekarang ini dapat dibagi menjadi beberapa lingkungan atau lingkaran adat (Adatrechtkringen). Seorang pakar Belanda, Cornelis van Vollenhoven adalah yang pertama mencanangkan gagasan seperti ini. Menurutnya daerah di Nusantara menurut hukum adat bisa dibagi menjadi 23 lingkungan adat berikut:
1.        Aceh
2.        Gayo dan Batak
3.        Nias dan sekitarnya
4.        Minangkabau
5.        Mentawai
6.        Sumatra Selatan
7.        Enggano
8.        Melayu
9.        Bangka dan Belitung
10.    Kalimantan (Dayak)
11.    Sangihe-Talaud
12.    Gorontalo
13.    Toraja
15.    Maluku Utara
16.    Maluku Ambon
17.    Maluku Tenggara
18.    Papua
19.    Nusa Tenggara dan Timor
20.    Bali dan Lombok
21.    Jawa dan Madura (Jawa Pesisiran)
22.    Jawa Mataraman
23.    Jawa Barat (Sunda)

3.    Penegak hukum adat
Penegak hukum adat adalah pemuka adat sebagai pemimpin yang sangat disegani dan besar pengaruhnya dalam lingkungan masyarakat adat untuk menjaga keutuhan hidup sejahtera.

4.    Aneka Hukum Adat
Hukum Adat berbeda di tiap daerah karena pengaruh :
-       Agama : Hindu, Budha, Islam, Kristen dan sebagainya. Misalnya : di Pulau Jawa dan Bali dipengaruhi agama Hindu, Di Aceh dipengaruhi Agama Islam, Di Ambon dan Maluku dipengaruhi agama Kristen.
-       Kerajaan seperti antara lain: Sriwijaya, Airlangga, Majapahit.
-       Masuknya bangsa-bangsa lain, misal : Arab, China, Eropa.

5.      Hukum Formal Harus Mencerminkan Hukum Adat
Mengenai persoalan penegak hukum adat Indonesia, ini memang sangat prinsipil karena adat merupakan salah satu cermin bagi bangsa, adat merupkan identitas bagi bangsa, dan identitas bagi tiap daerah. Dalam kasus salah satu adat suku Nuaulu yang terletak di daerah Maluku Tengah, ini butuh kajian adat yang sangat mendetail lagi, persoalan kemudian adalah pada saat ritual adat suku tersebut, dimana proses adat itu membutuhkan kepala manusia sebagai alat atau prangkat proses ritual adat suku Nuaulu tersebut.Tetapi itu terjadi dahulu kala. Hukum Adat bersifat dinamis, selalu bergerak ke arah pembaharuan. Karena hukum itu ada bersama masyarakatnya. Ketika masyarakat berubah maka hukum akan berubah juga.
Dalam kerangka pelaksanaan Hukum Tanah Nasional dan dikarenakan tuntutan masyarakat adat maka pada tanggal 24 Juni 1999, telah diterbitkan Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No.5 Tahun 1999 tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat.
Peraturan ini dimaksudkan untuk menyediakan pedoman dalam pengaturan dan pengambilan kebijaksanaan operasional bidang pertanahan serta langkah-langkah penyelesaian masalah yang menyangkut tanah ulayat.
Peraturan ini memuat kebijaksanaan yang memperjelas prinsip pengakuan terhadap "hak ulayat dan hak-hak yang serupa itu dari masyarakat hukum adat" sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 3 UUPA. Kebijaksanaan tersebut meliputi :
-       Penyamaan persepsi mengenai "hak ulayat" (Pasal 1).
-       Kriteria dan penentuan masih adanya hak ulayat dan hak-hak yang serupa dari masyarakat hukum adat (Pasal 2 dan 5).
-       Kewenangan masyarakat hukum adat terhadap tanah ulayatnya (Pasal 3 dan 4).

Indonesia merupakan negara yang menganut pluralitas di bidang hukum, dimana diakui keberadaan hukum barat, hukum agama dan hukum adat. Dalam prakteknya (deskritif) sebagian masyarakat masih menggunakan hukum adat untuk mengelola ketertiban di lingkungannya.
Di tinjau secara preskripsi (dimana hukum adat dijadikan landasan dalam menetapkan keputusan atau peraturan perundangan), secara resmi, diakui keberadaaanya namun dibatasi dalam peranannya. Beberapa contoh terkait adalah UU dibidang agraria No.5 / 1960 yang mengakui keberadaan hukum adat dalam kepemilikan tanah.




BAB III
PENUTUP


A.  Kesimpulan
Adat merupakan suatu peraturan, kebiasaan-kebiasaan yang tumbuh dan terbentuk dari suatu masyarakat atau daerah yang dianggap memiliki nilai dan dijunjung serta dipatuhi masyarakat atau daerah yang dianggap memiliki nilai dan dijunjung serta dipatuhi masyarakat pendukungnya.
Adat merupakan norma yang tidak tertulis namun sangat kuat mengikat sehingga anggota-anggota masyarakat yang melanggar adat-istiadat akan menderita, karena sanksi keras yang kadang-kadang sacara tidak langsung dikenakan
Istilah lembaga adat merupakan dua rangkaian kata yang terdiri dari kata “lembaga” dan “adat”. Kata lembaga dalam bahasa Inggris disebut Institution yang bermakna pendirian, lembaga, adat dan kebiasaan



B.  Saran
.............................................................................................
.............................................................................................
.............................................................................................
.............................................................................................
.............................................................................................
.............................................................................................
.............................................................................................
.............................................................................................
.............................................................................................
.............................................................................................


[1] Mohammad Daud Ali, HukumIslam (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2004), hal. 216
[2] Hendropuspita, Sosiologi Agama, (Yogyakarta : Kanisius, 1994), hal.114

Tidak ada komentar:

Posting Komentar