BAB I
PENDAHULUAN
Latar
Belakang Masalah
Konstruksi dasar pembinaan hukum Islam telah diletakkan oleh
Rasulullah SAW yang bentuk-bentuk cakupan hukum yang diformulasikannya dapat
berupa; pertama, penjelasan yang berkaitan dengan arti dan maksud
al-Qur’an yang kemudian dijelaskan oleh Nabi dalam contoh dan perbuatan. Kedua,
penjelasan yang berkaitan dengan perluasan dasar-dasar yang dinyatakan oleh
al-Qur’an yang kelihatannya menambah hukum yang dinyatakan al-Qur’an itu
sendiri, dan ketiga, penjelasan yang berkaitan dengan
pembatasan/pengurangan kandungan al-Qur’an.
Dari konstruksi Nabi tersebut, kemudian para teoritisi hukum
Islam mulai menyusun konstruksi metodologi untuk menafsirkan ayat-ayat dan
hadis dalam usaha untuk mendekatkan pemahaman kepada maksud dan tujuan syari’at
serta berusaha untuk mendekatkan hasil penalaran/pemahaman tersebut dengan
realitas sosial yang berkembang ditengah-tengah masyarakat.
Para mujtahid tidak membuat, tetapi hanya
menemukan hukum. Hal itu adalah karena keyakinan dalam Islam bahwa hukum dibuat
oleh Tuhan sebagai asy-Syari’ (pembuat hukum). Manusia hanyalah memahami
(fiqh) hukum Ilahi tersebut. Proses pemahaman terhadap hukum itu disebut
istinbaht al-hukm melalui kegiatan intelektual yang disebut ijtihad.
Hasil-hasil hukum yang diistinbat melalui kegiatan ijtihad itu dinamakan fiqih.
Penemuan hukum dimaksudkan sebagai suatu proses individualisasi dan
konkretisasi peraturan-peraturan umum dengan mengaitkannya kepada
peristiwa/kasus khusus. Penemuan hukum berbeda dengan penelitian hokum yang
lebih luas sifatnya. Penemuan hukum bersifat klinis yang bertujuan untuk
menjawab pertanyaan apa hukum suatu kasus konkret tertentu. Penelitian
hukum menyelidiki hukum sebagai sebuah fenomena sosial dengan mempelajari
hubungannya dengan fenomena sosial lainnya. Juga melakukan penyelidikan
normatif terhadap hukum untuk melakukan inventarisasi peraturan hukum,
menemukan asas/doktrin hukum, meneliti taraf sinkronisasi dan sistematik hukum
serta menemukan hukum untuk menyelesaikan suatu perkara. Dengan demikian
sesungguhnya penemuan hukum hanyalah sebagian dari penelitian hukum.[1]
Tujuan
penemuan hukum haruslah dipahami oleh mujtahid dalam rangka mengembangkan pemikiran
hukum dalam Islam secara umum dan menjawab persoalan-persoalan hukum
kontemporer yang kasusnya tidak diatur secara eksplisit oleh Al Quran dan
Hadis. Oleh karenanya dengan berbagai macam metode yang diterapkan diharapakan akan
dapat menemukan hukum-hukum dalam memecahkan berbagai persoalan yang muncul,
makalah ini akan mencoba menguraikan metode penemuan hukum ta’lili.
Permasalahan
Dari
uraian yang telah saya kemukakan di atas, untuk mendapatkan suatu gambaran dan
batasan, maka yang menjadi permasalahan dalam penulisan makalah ini adalah :
Bagaimana terjadinya ijtihad ta’lili (penalaran ta’lili) dalam meng’illah suatu
hukum.
BAB II
PEMBAHASAN
PENALARAN METODE TA’LILI
A.
Pengertiaan
dan Pembagian Istinbath
Menurut bahasa, kata istinbath merupakan akar kata
dari kata nabatha-yanbuthu-nabthan yang berarti air yang pertama kali
keluar/tampak pada seseorang yang menggali sumur. Dikatakan istanbatha al-faqih
berarti mengeluarkan hukum (fiqh) yang tersembunyi dengan pemahaman dan
ijtihadnya.
Al-Jurjani memberikan arti istinbath menurut bahasa dengan mengeluarkan
air dari mata air (dalam tanah).[2]
Karena itu secara umum kata istinbath digunakan dalam arti al-istikhraj
(mengeluarkan). Sedangkan menurut
istilah, kata istinbath diberikan pengertian oleh para ulama dengan
beberapa penekanan yang hampir sama. Misalnya al-Jurjani memberikan definisi istinbath
dengan :
إستخراج المعاني من النصوص بفرط الذهن
وقوة القريحة
“mengeluarkan kandungan hukum dari
nas-nas (al-Qur’an dan sunnah) dengan ketajaman nalar serta kemampuan yang
optimal.
Kata istinbath terdapat dalam al-Qur’an
dalam bentuk fi’l al-mudhari’ yaitu yastanbithunah yang terdapat
dalam Surat An-Nisa’ ayat 83.
Muhammad Mushtafa al-Maraghi
mengartikan kata istinbath dengan mengeluarkan sesuatu yang tersembunyi
dari pandangan mata. Ketika menafsirkan ayat 83 dari surat an-Nisa’, dia
menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan yastanbithunah adalah
mengeluarkan sesuatu yang tersembunyi (tidak jelas) dengan ketajaman pemikiran
mereka.
Berdasarkan uraian di atas, dapat ditarik garis bawahi bahwa istilah istinbath
menurut para teoretisi hukum Islam agak identik dengan ijtihad.
Sebagaimana diketahui bahwa pengertian ijtihad menurut para teoretisi
hukum Islam adalah upaya mencurahkan segenap kemampuan faqih dalam
mengeluarkan hukum-hukum yang amaliyah dari dalil-dalil yang terperinci.
Secara garis besar ada dua macam
perangkat atau metode yang dikembangkan oleh para teoretisi hukum Islam dalam
rangka istinbath-nya yang meliputi metode istinbath yang
dilakukan dengan cara menggali hukum kepada nas secara langsung dan kedua
metode yang dilakukan dengan cara menggali hukum dengan cara mengembalikan
kepada nas secara tidak langsung, tetapi hanya melalui kaidah-kaidah umum yang
dikenal dengan al-qawaid al-fiqhiyyah.
Untuk jenis metode yang pertama,
para teoretisi hukum Islam merumuskan tiga metode penemuan hukum yakni (1)
metode interpretasi linguistik (ath-thuruq al-bayaniyah); (2) metode
kausasi (istinbath ta’lili); dan (3) metode istinbath
istishlahi.[3] Ketiga
metode tersebut dikenal juga dengan nama metode istinbath ushuli
(pokok). Disebut demikian sebab wujud dari metode tersebut mendahului furu’
atau fiqh yang merupakan produk dari penerapan metode istinbath
tersebut.
Sedang metode kedua dapat disebut
dengan metode istinbath qawa’id kulliyyah. Metode ini merupakan
seperangkat kaidah yang dibangun berdasarkan penelitian secara induktif
terhadap berbagai kasus fiqh yang kemudian dijustifikasi dengan nas-nas yang
bersifat kulliyah. Fungsi dari kaidah-kaidah tersebut adalah untuk
mengembalikan berbagai permasalahan fiqhiyah maupun menyelesaikan kasus-kasus
baru yang bersifat cabang.
B.
Pengertian
Metode Ta’lili/ Ijtihad Ta’lili
Metode kausasi (at-ta’lil)
merupakan bagian penting dalam penemuan hukum syar’i karena metode ini
merupakan upaya penemuan hukum untuk kasus yang tidak ada teks hukumnya. Di
sini teks hukum yang ada diperluas cakupannya sehingga bisa mencakup
kasus-kasus yang tidak terdapat teks hukumnya (nasnya).
Yang dimaksud dengan ijtihad
ta’lili adalah mengambil kesimpulan hukum dari nas dengan pertimbangan ‘illat
al-hukm (pangkal sebab/alasan) ditetapkannya suatu hukum. Kemudian
diambil sebagai bahan perbandingan (miqyas) bagi peristiwa hukum yang di
luar nas yang dimaksud dengan jalan analogi.
Untuk melakukan istinbath hukum
secara qiyasi (ta’lili), menurut mayoritas teoretisi hukum Islam
diperlukan beberapa rukun yang harus dipenuhi, yaitu :
- al-ashl,
kasus asal, yang ketentuannya telah ditetapkan dalam nas, dan analogi
berusaha memperluas ketentuan itu kepada kasus baru;
- al-far’,
kasus baru, sasaran penerapan ketentuan asal;
- al-‘illat,
kausa, yang merupakan sifat dari kasus asal dan ditemukan sama dengan
kasus baru;
- al-hukm
(ketentuan) kasus asal yang diperluas kepada kasus baru.
Untuk melakukan istinbath
hukum secara qiyasi, maka ‘illat hukum merupakan hal yang pokok dan
perlu diperhatikan. Maka sebagian ulama ushul seperti al-Bazdawi berpendapat
bahwa rukun qiyas itu hanya satu yaitu ‘illat saja.
Oleh karena itu, cara ini kemudian
dikenal juga dengan metode istinbath isti’lali, yakni metode mengambil
kesimpulan hukum yang didasarkan kepada ‘illat hukum. Misalnya tentang larangan
membakar/memusnahkan harta anak yatim yang diqiyaskan dengan larangan memakan
harta mereka dengan batil.
C.
Pengertian ‘Illat
‘Illat adalah suatu
keadaan atau sifat yang jelas, dapat diukur, dan mengandung relevansi sehingga
dapat diduga secara kuat bahwa itulah yang menjadi alasan penetapan suatu
ketentuan oleh Allah. Contohnya ialah kebolehan mengqashar shalat bagi musafir.
Musafir dipandang sebagai ‘illat karena keadaannya jelas, yaitu tidak mukim,
dapat diukur perjalanannya dengan jarak atau waktu dan memiliki relevansi
antara musafir dengan mengqashar shalat, yaitu kemudahan. Kesukaran tidak bisa
dijadikan ‘illat (dalam kasus mengqashar shalat), sebab kesukaran adalah
sesuatu yang abstrak, sulit diukur karena tingkat kesukaran seseorang sangat
relatif. Bila suatu keadaan tidak diketahui relevansinya dengan suatu ketentuan
maka ia tidak dapat dikatakan ‘illat tetapi sebab. Sebagai misal adalah
tergelincirnya matahari dengan kewajiban shalat dzuhur. Tergelincirnya matahari
dianggap sebagai sebab karena ia tidak dapat diketahui relevansinya. Penggunaan
dasar ‘illat
sebagai dasar ijtihad diterima oleh hampir semua ulama ushul.[4]
Contoh
lain adalah riba, di mana biasanya didefinisikan sebagai “tambahan yang
diperjanjikan atas besarnya pinjaman ketika pelunasan hutang”. Jadi tekanannya
pada “tambahan” sebagai ciri pokok riba.
Riba
dapat juga didefinisikan dengan “tambahan atas besarnya pinjaman ketika
pelunasan hutang yang mendatangkan kesengsaraan pihak peminjam”. Di sini
tekanannya ada pada “kesengsaraan/zulm”, bukan “tambahan”. “Tambahan”
sebagai an-nau’/species,sedangkan
“kesengsaraan” sebagai al-jins/genus/’illat.
Dari
paparan di atas, dapat diketahui bahwa esensi riba adalah “tambahan” dan ada
pula yang mengatakan esensinya adalah “zulm”. Namun jika kembali kepada pangkal
persoalan larangan riba, maka “tambahan” tidak mempunyai makna apa-apa.
Sebaliknya, “ketidakadilan” adalah hal yang bertentangan dengan tujuan
penetapan prinsip ekonomi Islam. Karenanya, ’illat larangan riba seharusnya
“zulm” bukan “tambahan”.
D.
Syarat-Syarat
‘Illat
Muhammad
Hashim Kamali telah meringkas beberapa syarat ‘illat –meskipun sebagian
besar masih kontroversial di antara para teoretisi hukum Islam– ke dalam lima
butir berikut ini :
- ‘Illat
harus merupakan sifat yang tetap (mundhabit) yang dapat diterapkan
kepada semua kasus tanpa dipengaruhi oleh perbedaan pelaku, waktu dan
tempat serta keadaannya;
- ‘Illat
yang menjadi dasar dari qiyas haruslah jelas (zahir);
- ‘Illat
harus merupakan sifat yang patut (al-washf al-munasib) yang
mempunyai kaitan yang patut dan wajar dengan nas (hukm);
- ‘Illat
harus muta’addi, yaitu kualitas obyektif yang dapat diterapkan
untuk kasus-kasus yang lain;
- ‘Illat
tidak boleh merupakan suatu sifat yang berusaha menandingi atau mengubah
hukum dari nash.
E.
Pembagiaan
‘Illat
1. ‘Illat
Tasyri’i
‘Illat tasyri’i adalah ‘illat
yang digunakan untuk mengetahui apakah suatu ketentuan masih perlu
dipertahankan atau diubah, karena ‘illatnya telah bergeser ataupun karena
tujuan yang diinginkannya akan tercapai. Contoh yang paling populer adalah
‘illat tentang zakat hasil pertanian. Para ulama masa lalu memahami ‘illat
zakat pertanian adalah makanan pokok, dapat ditakar dan tahan lama. Tetapi
ulama sekarang, semisal Yusuf Qardhawi menemukan ‘illat baru, yaitu an-nama’
(produktif). Oleh karena itu seluruh jenis tanaman yang produktif wajib
dizakati.
2.‘Illat
Qiyasi
‘Illat qiyasi adalah
pemberlakuan ‘illat terhadap sesuatu yang tidak disebutkan secara tekstual
karena adanya kesamaan dengan sesuatu yang telah disebut secara tekstual.
Sebagai misal adalah haramnya minuman keras seperti wiski, tuak, brandi dan
lain sebagainya, yang memiliki kesamaan ‘illat dengan khamr (sebagai asal yang
ada nas hukumnya). Kesamaan ‘illatnya ialah memabukkan. Wiski dan minuman keras
sejenis sebagai cabang yang memiliki sifat memabukkan, oleh karenanya ia
menjadi haram.
Qiyas sebagai salah satu kaidah penalaran dalam ushul fiqih diterima secara
luas oleh kalangan fuqaha. Hanya sebagian kecil saja yang menolak qiyas. Mereka
adalah kalangan mazhab Zahiri terutama Ibnu Hazm. Bagi Ibnu Hazm penggunaan
qiyas adalah sesuatu yang mengada-ada. Allah hanya membebani hamba-Nya sesuai
dengan kemampuannya. Jadi apa-apa yang tidak disebutkan dalam nas, merupakan
sebuah keringanan bagi seorang mukallaf dan hukumnya mubah. Karena itu tidak
perlu membuat ketentuan baru.
3.‘Illat
Istihsani
‘Illat istihsani
atau disebut juga dengan qiyas khafy adalah ‘illat pengecualian karena
adanya ‘illat yang tersembunyi. Sebagai contoh ialah kehalalan sisa daging yang
dimakan burung elang. Sebenarnya elang adalah tergolong jenis binatang buas.
Daging binatang buas juga haram dimakan. Oleh karena itu sisa daging yang
dimakan elang hukumnya juga haram. Qiyas yang demikian oleh ulama kalangan
Hanafiyah dianggap kurang memuaskan. Sebab ada perbedaan khusus antara burung
elang dengan binatang buas lain seperti harimau, macan, singa dan sebagainya.
Burung elang makan dengan paruhnya yang suci. Oleh karena itu sisa makanannya
juga suci hukumnya. Sementara itu binatang buas yang lain makan dengan
mulutnya, yang di situ terdapat air liur. Oleh karenanya, sisa makanan yang
dimakan olehnya diduga bercampur dengan air liur, yang berarti juga najis.
Karenanya sisa makanan binatang buas menjadi haram hukumnya. ‘Illat
istihsani lebih banyak digunakan oleh kalangan Hanafiah.
F. Cara
Menemukan ‘Illat
Untuk memperluas cakupan teks hukum yang ada,
perlu dilakukan penyelidikan terhadap ketentuan hukum yang telah ada di dalam
teks hukum guna mengkaji dan menemukan atribut yang menjadi dasar penetapannya.
Dengan kata lain, ‘illat yang melandasi suatu hukum harus diselidiki.
Para teoretisi hukum Islam telah mengembangkan beberapa teknik untuk
mengidentifikasi atribut yang menjadi ‘illat suatu hukum yakni melalui konteks
suatu nas, ijma’ (konsensus ahli-ahli hukum) dan melalui ijtihad (penalaran).[5]
Identifikasi atribut yang menjadi ‘illat hukum melalui konteks nas
dilakukan dengan cara melihat nas. ‘Illat dalam nas terkadang disebutkan
secara langsung dan kadang-kadang berupa isyarat. ‘Illat yang disebutkan secara
langsung biasanya ditandai dengan lafaz-lafaz dan lain sebagainya.
Sedangkan ‘illat yang diketahui melalui isyarat biasanya dengan menggunakan
sifat yang mengiringinya, seperti ayat :
الزانية
والزاني فاجلدوا كل واحد منهما مائة جلدة
Disebutkannya az-zaniyyat waz-zani beriringan
dengan lafaz fajlidu menunjukkan sifat dengan
hukum. Maka dapat diketahui bahwa ‘illatnya adalah berzina.
‘Illat yang diketahui dengan ijma’ ialah ‘illat yang telah disepakati oleh para
mujtahid. Sebagai misal adalah ‘illat “as-sighar” dalam masalah perwalian
anak kecil dalam masalah harta.
Apabila tidak ada ijma’ mengenai ‘illat suatu hukum, maka kita menggunakan
tehnik ketiga, yaitu melalui ijtihad (penalaran). Ada dua cara yang diikuti
dalam penalaran untuk mengidentifikasi ‘illat, pertama, klasifikasi dan eliminasi
(as-sabr
wa at-taqsim), yaitu pengujian terhadap ’illat dengan cara
mengidentifikasi semua atribut yang diperkirakan mungkin menjadi ‘illat hukum
kemudian satu-persatu ‘illat yang diperkirakan itu diuji untuk menemukan suatu
‘illat yang paling mungkin, kemudian ‘illat-illat lainnya dieliminasi. Sebagai
misal ialah kasus seorang badui yang berhubungan badan (bersetubuh) dengan
isterinya pada waktu siang hari di bulan Ramadhan. Oleh Nabi SAW ia diwajibkan
membayar kaffarah. Pada mulanya mujtahid menduga bahwa berhubungan badan ialah
‘illatnya. Namun setelah diadakan penelitian lebih lanjut dan diadakan
penyaringan hukum dari berbagai ‘illat, maka para mujtahid menetapkan adanya
unsur kesengajaan berhubungan badan pada siang hari bulan Ramadhan sebagai
‘illat bagi kewajiban membayar kaffarah.[6]
Sedangkan
kedua,
dengan cara pengujian kesesuaian atribut yang dinyatakan sebagai ’illat dengan
hukum, dan ini disebut konformitas (munasabah).
Semua hukum hasil ijtihad harus ada ‘illatnya. Tuhan dalam
menetapkan hukum memakai teori kebijaksanaan Tuhan “hal af’alullah mu’allalah bil mashalih amla?”.
Hal itu bisa dijelaskan secara logis dan ada alasannya, bisa disebutkan dan
tidak disebutkan (bisa digali dan tidak bisa digali), sedangkan yang tidak bisa
digali sangat kecil.
Struktur hukum Islam ada kaidah (rumah/bangunan) atau hukum/norma
dan ada fondasi (dasar hukum/’illat) yakni analisis ‘illat dengan ilmu-ilmu
yang modern. Misalnya kajian ilmu ekonomi Islam yang dilakukan oleh Anas Zarqa’
dalam kitabnya Islamiyyat ‘Ilm al-Iqtishad.
G.
Ayat-Ayat
Yang Menjadi Penghujjah Penalaran Ta’lili
Surat Al-Baqarah ayat: 222
وَيَسْأَلُونَكَ
عَنِ الْمَحِيضِ قُلْ هُوَ أَذًى فَاعْتَزِلُواْ النِّسَاء فِي الْمَحِيضِ وَلاَ تَقْرَبُوهُنَّ
حَتَّىَ يَطْهُرْنَ فَإِذَا تَطَهَّرْنَ فَأْتُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ أَمَرَكُمُ اللّهُ
إِنَّ اللّهَ يُحِبُّ التَّوَّابِينَ وَيُحِبُّ الْمُتَطَهِّرِينَ
Artinya:
Mereka
bertanya kepadamu tentang haidh. Katakanlah: "Haidh itu adalah suatu
kotoran". Oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di
waktu haidh; dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci. Apabila
mereka telah suci, maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan
Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan
menyukai orang-orang yang mensucikan diri.
Surat An-Nisaa ayat: 59
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ
آمَنُواْ أَطِيعُواْ اللّهَ وَأَطِيعُواْ الرَّسُولَ وَأُوْلِي الأَمْرِ مِنكُمْ“
Artinya:
Hai orang-orang yang beriman,
ta’atilah Allah dan ta’atilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu”. (an-Nisaa:59).
BAB III
KESIMPULAN
Dari uraian-uraian di atas dapat disimpulkan sebagai
berikut :
1. Ada dua macam perangkat atau metode
yang dikembangkan oleh para teoretisi hukum Islam dalam rangka melakukan istinbath,
yaitu metode istinbath ushuli dan metode istinbath qawaid kulliyyah.
2. Yang termasuk metode istinbaht
ushuli adalah metode interpretasi linguistik (ath-thuruq al-bayaniyah),
metode kausasi (istinbath ta’lili) dan metode istinbath istishlahi.
3. Bahwa istilah istinbath
menurut para ulama ushul agaknya identik dengan ijtihad.
4. Konstruksi
metodologi hukum Islam sampai saat ini masih efektif digunakan sebagai
metodologi penalaran hukum. Artinya metode kausasi (ijtihad ta’lili)
akan digunakan apabila metode interpretasi linguistik (ath-thuruq
al-bayaniyyah) dirasa kurang menjangkau tujuan hukum.
Demikianlah
pembahasan tentang metode ijtihad ta’lili dalam tulisan ini. Ijtihad
akan selalu terbuka dilakukan jika hukum yang telah ada belum bisa menjawab
permasalahan yang berkembang dan aktual dalam masyarakat muslim.
Wa
Allah A’lam bi ash-Shawab.
Wa syukran ilaikum ya ustazah……..!!!!!
DAFTAR
PUSTAKA
Az-Zuhaili,
Wahbah, Ushul al-Fiqh al-Islami (Damaskus :
Dar al-Fikr,1986), cet. I
Anwar, Syamsul, “Teori Konformitas
dalam Metode Penemuan Hukum Islam al-Gazzali” dalam M. Amin Abdullah, dkk., Antologi
Studi Islam: Teori dan Metodologi (Yogyakarta :
DIP PTA IAIN Sunan Kalijaga, 2000), cet. I.
Zein,
Fuad, “Aplikasi Ushul Fiqh dalam Mengkaji Keuangan Kontemporer” dalam M. Amin
Abdullah, dkk., “Mazhab Jogja” : Menggagas Paradigma Ushul Fiqh
Kontemporer (Yogyakarta : Ar-Ruzz Press, 2002), cet. I.
Kamali,
Muhammad Hashim, Prinsip dan Teori-teori Hukum Islam (Ushul al-Fiqh),
terj. Noor Haidi (Yogyakarta
: Pustaka Pelajar, 1996),
cet.I.
[1]
Syamsul Anwar, “Teori Konformitas dalam Metode Penemuan Hukum Islam al-Gazzali”
dalam M. Amin Abdullah dkk., Antologi Studi Islam : Teori
dan Metodologi (Yogyakarta : DIP PTA IAIN Sunan Kalijaga, 2000),
cet. I, h. 273-274.
[2]
Asy-Syarif Ali bin Muhammad al-Jurjani, Kitab at-Ta’rifat
(Beirut : Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1988), h. 22
[3] Muhammad
Salam Madzkur, al-Ijtihad
fi at-Tasyri’ al-Islami (Beirut : Dar an-Nahdhah al-‘Arabiyah,
1984), h. 42-49; Muhammad Ma’ruf ad-Dawalibi, al-Madkhal ila ‘Ilm Ushul al-Fiqh
(Damaskus : Dar al-Kutub al-Jadidah, 1965), h. 405-412. Sejauh ini para ahli
hukum Islam tidak menyebut penyelarasan/sinkronisasi (at-taufiq)
sebagai salah satu metode penemuan hukum. Menurut Syamsul Anwar, sesungguhnya
metode ijtihad
qiyasi dan metode ijtihad istishlahi dapat dimasukkan ke dalam satu
kategori, yaitu metode kausasi. Dengan demikian, metode penemuan hukum Islam
dapat dibedakan menjadi tiga macam yaitu metode interpretasi linguistik, metode
kausasi dan metode penyelarasan. Lihat Syamsul Anwar, “Teori Konformitas…”, h.
275.
[4]
Mushtafa Syalabi, Ta’lil al-Ahkam (Beirut
: Dar an-Nahdhah al-‘Arabiyyah, 1981), h. 14-34
[5]
Al-Gazzali, al-Mustashfa min “ilm al-Ushul
(Kairo : Syirkah ath-Thiba’ah al-Fanniyyah al-Muttahidah, 1971), h.
430-440; ‘Abd al-Wahhab al-Khallaf, ‘Ilm…, h. 75-7
[6]
Wahbah az-Zuhaili, Ushul al-Fiqh al-Islami
(Dar al-Fikr, 1986), cet. I, h. 692.
Terimakasih, makalahnya dapat membuka wawasan saya tentang cara menerapkan syari`at Islam pada masa sekarang ini.
BalasHapusijin shere
BalasHapusHarrah's Cherokee Casino & Hotel - Jackson County Chamber
BalasHapusHarrah's 춘천 출장샵 Cherokee Casino & Hotel is located at 경기도 출장안마 14406 N. Main Street in Cherokee, North Carolina. 제주도 출장마사지 It's owned 여수 출장마사지 and operated by 여주 출장안마 Caesars